KOMPAS.com - Tepat delapan bulan setelah bebas dari Penjara Sukamiskin, Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda di Bandung.
Ia pun menjalani pembuangan bersama sang istri, Inggit serta anak angkat mereka, Ratna Juami. Ikut dalam rombongan mereka, Ibu Amsi yang tak lain mertua Soekarno.
Mereka berangkat dari pelabuhan di Surabaya dan diantar oleh banyak orang yang melambaikan bendera merah putih.
Soekarno dan keluarga menumpang kapal barang KM van Rieveeck. Setelah delapan hari berlayar, mereka tiba di pulau kecil, Flores.
Harta pribadi yang dibawa Sukarno hanyalah keranjang penuh berisi buku.
Baca juga: Jokowi Kunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende, Ini Sejarahnya
Oleh Gubernur Jenderal, Soekarno dan keluarganya ditempatkan di Ende, sebuah kampung nelayan di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja yang memiliki 5.000 penduduk.
Soekarno dan keluarganya tinggal di rumah milik Haji Abdullah Amburawu. Sebagian besar penduduk di desa itu bekerja sebagai nelayan dan petani.
Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno bercerita bahwa butuh waktu 8 jam berkendara dengan mobil untuk ke kota terdekat.
Jalan utamanya adalah jalan tanah bekas tebasan hutan yang menjadi kubangan saat musim hujan.
Di Ende tak ada telepon, tak ada telegraf. Tak ada juga listrik dan air jeding. Selain itu tak ada hiburan di Ende. Satu-satunya komunikasi hanya melewati dua buah kapal pos yang datang sebulan sekali.
Soekarno bercerita jika mandi dia akan membawa sabun ke Wola-wola, sebuah sungai dengan air dingin dengan bongkahan batu di tengahnya. Di sekeliling rumah yang ditempat Sukarno hanyalah kebun pisang, pohon kelapa dan juga jagung.
Baca juga: Jokowi Kunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende, Titik Lahirnya Pancasila
Sang istri, Inggit sempat bertanya mengapa mereka harus dibuang di Ende, bukan di Digul yang selama ini menjadi lokasi pembuangan para pengikut Sukarno.
"Di Digul, ada 2.600 orang buangan. Tentu aku akan menemukan kehidupan menyenangkan di sana. Dapatkan kau bayangkan apa yang akan diperbuat Sukarno dengan 2.600 pasukan yang sudah jadi itu? Aku akan mengubah wajah negeri Belanda dari Tanah Papua yang terpencil itu," ungkap Soekarno.
Di Ende, mertua Soekarno yang ikut dalam pembuangan meninggal dunia pada 12 Oktober 1935 setelah lima hari tak sadarkan diri.
Seorang diri, Soekarno membangun kuburannya dan meletakkan batu bata untuk dasarnya. Ia juga menggosok batu kali untuk nisannya.
Baca juga: Taman Renungan Bung Karno di Ende NTT, Tempat Lahirnya Pancasila
Karya pertama diilhami oleh Frankenstein berjudul Dr Setan dengan tokoh utama Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan melakukan tranplantasi hati dari orang yang hidup.
Naskah lainnya adalah Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.
Soekarno pun mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu yang namanya diambil dari nama danau tiga warna di Flores.
Baca juga: Kisah Soekarno Jalani Pembuangan di Ende
Ia menjadi sutradara dan melatih warga sekitar bermain sandiwara di bawah pohon selama dua minggu berturut-turut.
Tak ada naskah untuk pemain, karena itu aku membacakannya untuk masing-masing pemain dan mereka menghafalnya dengan cara mengucapkannya berulang-ulang.
Soekarno kemudian menyewa gudang gereja yang disulap menjadi gedung pertunjukan dan membuka karcis pertunjukan.
Sandiwara tersebut berjalan selama tiga hari dan tampil di depan 500 penonton. Bahkan orang Belanda ikut membeli karcis dan hasilnya untuk membayar sewa gedung.
Soekarno membuat berbagai macam pakaiaan, membuat gambar di dinding belakang panggung, mengatur peralatan di atas panggung hingga melatih dua perempuan untuk bernyanyi keroncong.
Setiap selesai pertunjukan, Soekarno akan membawa semua pemain ke rumahnya untuk makan bersama.
Baca juga: Kisah Soekarno dan Petani Marhaen di Bandung
Pohon sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil yang menghadap teluk. Di tempat itu, dengan pemandangan yang tidak ada batasnya dan langit biru serta awan putih di atas serta seeokor kambing sesekali melinta, aku duduk melamun selama berjam-jam.
Hingga suatu hari, Soekarno tidak punya kekuatan untuk duduk di bawah pohon dan tak dapat bangun dari tempat tidur. Dari hasil pemeriksaan dokter, Soekarno divonis menderita malaria.
Sakitnya Soekarno menjadi perhatian sahabat-sahabatnya di Pulau Jawa. Mereka pun mengajukan protes ke Volksraad.
Hingga Kolonial Belanda mengumumkan melalui radio jika Soekarno akan dipindahkan ke pengasingan lain. Setelah lima tahun di Ende, pada Februari 1938, Soekarno dan keluarganya dipindahkan dari Flores.
Baca juga: Mengenal Cindy Adams, Penulis Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Keberangkatan Soekarno diantar oleh warga Ende di pelabuhan. Ia pun dinaikkan ke kapal dagang menuju Bengkulu.
Pada tahun 1951, untuk pertama kalinya Soekarno kembali ke Ende setelah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Dalam kunjungannya, ia menyatakan keinginannya agar rumah pengasingan itu dijadikan museum. Pada kunjungannya yang kedua pada tahun 1954, Soekarno meresmikan rumah itu sebagai “Rumah Museum”.
Rumah Pengasingan tersebut kemudian ditetapkan menjadi Bangunan Cagar Budaya berperingkat Nasional dengan Surat Keputusan bernomor 285/M/2014 pada 13 Oktober 2014.
Sementara itu tempat perenungan Soekarno dikenal dengan dengan nama Taman Renungan Bung Karno atau sering disebut Taman Renungan Pancasila.
Baca juga: Hubungan Indonesia-Rusia: Kemesraan Jakarta-Moskwa di Era Sukarno
Lokasinya di Kelurahan Rukun Lima. Di taman tersebut, terdapat patung Soekarno duduk merenung di bawah pohon sukun bercabang lima sambil menatap ke arah laut.
Sementara, pohon sukun yang ada di Taman Renungan Bung Karno disebut Pohon Pancasila. Pohon yang ada saat ini adalah pohon yang ditanam pada 1981, karena pohon yang asli sudah tumbang sejak 1960.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.