LEBAK, KOMPAS.com - Handoko (bukan nama sebenarnya) ingat betul saat jam pelajaran tiba-tiba dihentikan dan para siswa diminta segera pulang ke rumah.
Baca juga: Mei 1998, Saat Jakarta Dilanda Kerusuhan Mencekam dan Ditinggal Para Penghuninya...
Dari sekolah, terlihat asap pekat berwarna hitam membumbung tinggi. Sumber asap berasal dari sejumlah ruko di kawasan Jelambar, Jakarta Barat, yang terbakar.
Baca juga: Penjarahan dan Pembakaran Kerusuhan Mei 1998: Lokasi dan Pelakunya
Handoko yang kala itu masih duduk di kelas 2 SMK, bergegas pulang dijemput sopirnya. Saat itu angkutan umum tidak beroperasi.
Baca juga: Ayah Aktivis 98 Petrus Bima Anugrah: Kalau Dia Dipanggil Tuhan, Selamat Jalan Anakku...
“13 Mei 1998, saya lihat berita di televisi mahasiswa di kawasan Trisakti bakar pom bensin, enggak lama setelah saya pulang dari sekolah,” kata Handoko saat berbincang dengan Kompas.com di Rangkasbitung, Banten, Jumat (12/5/2023).
Sepulang dari sekolah, Handoko tidak berani ke mana-mana. Dia diam di rumah bersama kakak perempuan dan sepupunya.
Sementara orangtuanya tengah berada di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Pun demikian dengan para tetangga yang merupakan etnis Tionghoa. Warga was-was toko mereka bakal jadi sasaran penjarahan.
Saat sore hari, kondisi semakin mencekam. Pelaku penjarahan semakin mendekat. Ruko di depan perumahan Handoko dibakar dan barang-barangnya dijarah.
“Setelah Magrib, para bapak-bapak kumpul, termasuk saya diajak. Kami sepakat, jika malam itu ada penjarahan, sudah pasrah saja, tapi dokumen penting disimpan dalam satu tas, digendong. Besok ada kesempatan pergi kalau bisa pergi,” kata pria kelahiran 1981 ini.
Malam itu, para warga tidak tidur. Semua terjaga, sementara listrik dimatikan. Dalam sunyi, warga hanya bisa berdoa dan berharap pagi segera tiba.
Menjelang subuh, Handoko bersama kakak perempuan dan sepupunya bergegas pergi dari rumah. Mereka mengungsi ke Rangkasbitung menyusul kedua orangtuanya.
Agar selamat di perjalanan, sopir Handoko menyarankan agar Handoko menyamar menjadi pribumi dengan mengenakan kopiah.
Hal tersebut dilakukan karena banyak berita di televisi, mobil yang dikendarai oleh warga etnis Tionghoa dibakar oleh pengunjuk rasa.
“Jadi saat keluar pakai kopiah agar disangka pribumi,” cerita dia.
Perjalanan tidak mudah untuk mencapai Rangkasbitung.
Ruas jalan banyak yang diblokade, sehingga mereka harus melalui jalan tikus yang untungnya diketahui oleh sopir Handoko.
“Jalan tol saat itu gratis, tapi di beberapa ruas ditutup, seperti ke Serang itu tidak bisa. Sehingga kami keluar pintu Tol Ciujung lalu lewat pemukiman warga dan hutan-hutan untuk sampai Rangkasbitung,” kata dia.
Handoko kemudian tiba di Rangkasbitung siang hari dan tinggal di rumah sementara yang disewa orangtuanya.
“Kalau di Rangkasbitung kondusif, enggak ada kejadian apa-apa,” kata dia.
Handoko mengatakan, hampir seluruh warga di perumahan yang dia tinggali mengungsi ke berbagai tempat.
Bahkan ada yang ke luar negeri, seperti ke Singapura dan Hongkong.
Handoko bersama keluarganya baru berani kembali ke Jakarta sepekan setelah Presiden Soeharto lengser.
Kendati masih trauma, Handoko bersyukur keluarganya selamat dari kerusuhan Mei 1998.
Dia mendengar kabar, banyak teman-teman sekolahnya yang bernasib tidak baik.
“Ada teman saya rumahnya dibakar di Ciledug. Saya juga kehilangan kontak dengan banyak teman. Kabarnya mereka mengungsi ke luar negeri dan enggan balik lagi,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.