KOMPAS.com - Sejumlah pemuda asal Aceh mengaku tergiur iming-iming gaji besar dan bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) berbendera China.
Sempat bertahan dalam kondisi “seperti perbudakan dan penuh penyiksaan”, pegiat HAM mengatakan negara harus hadir.
Muhammad Sidik (28) berkata tidak akan pernah lagi tergiur untuk bekerja di kapal asing, betapa pun besar iming-iming gaji yang ditawarkan.
Pengalamannya pada 2019, ia sebut sebagai kesalahan terbesar dan tidak akan diulangi lagi.
Tiga tahun lalu, Sidik sebetulnya sudah bekerja sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) di salah satu kantor pemerintahan Kota Lhokseumawe dengan gaji Rp 300.000 per bulan.
Baca juga: Terjebak di Dalam Palka Kapal China Express, Dua Pekerja PT KRN Tewas
Pertemuannya dengan seorang agen, orang yang dipercaya dan telah dikenalnya sejak lama mengubah jalan hidupnya.
Agen itu menawari Sidik bekerja di atas kapal penangkap cumi-cumi asal China dengan gaji pokok sebesar US$300 per bulan, atau sekitar Rp4,2 juta.
“Katanya, panjang kapal 150 meter dan pekerjaan [di kapal] dilakukan oleh robot,” cerita Sidik kepada wartawan Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Bertekad untuk memperbaiki kondisi ekonomi, pada Mei 2019, Sidik mengemasi pakaian dan berangkat dari Aceh ke Jawa untuk bersiap menjadi ABK.
Baca juga: Awak Kapal China Dievakuasi Basarnas di Perairan Tanakeke Takalar akibat Luka Sobek
Baru naik geladak, Sidik segera menyadari bahwa janji-janji sebelumnya adalah bohong. Kapal yang ditumpanginya hanya sepanjang 75 meter dan seluruh pekerjaan dilakukan secara manual oleh ABK seperti dia.
Kehidupan di tengah laut yang keras langsung menghadapinya.
“Ada satu pengatur ABK yang arogan. Misalnya, ketika kami sakit, tetap disepak [ditendang] disuruh kerja. Kami tidak bisa melawan, karena jumlah [ABK dari Indonesia] hanya empat orang, sementara orang China ada 28 orang,” kata Sidik.
Baca juga: Fadli Zon soal Kapal China Mondar-mandir di Laut Natuna Utara: Perkuat Alutsista
Di atas semua penyiksaan itu, Sidik dan teman-temannya juga kerap tidak diberi makanan yang layak. Kerap kali, mereka harus mengonsumsi makanan yang sudah membusuk.
“Ayam sudah hijau, tapi bagaimana lagi, kalau tidak makan ya, mati," kata dia.
Selama nyaris setahun melaut itu, Sidik juga tak bisa berkontak dengan keluarganya.
Sampai-sampai Kasniati, ibu Sidik, sempat berpikir anak pertamanya itu telah meninggal dunia dan jenazahnya dilarung di laut seperti dalam video yang viral pada 2020.
“Saya sedih dan terus menangis karena tidak bisa menghubungi dia. Saya sempat juga berfikir seperti itu, bahwa anak saya meninggal lalu dibuang ke laut,” kata Kasniati.
Tapi Sidik selamat dan akhirnya bisa pulang ke Aceh. Meski, gaji yang ditunggu-tunggu ternyata tak dibayarkan dengan penuh.
“Total saya terima hanya lebih kurang Rp2,5 juta,” sebutnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.