Heri dan Udin mengaku tidak asing dengan aktivitas semacam itu. Mereka terbiasa membantu orangtuanya bekerja di kawasan hutan.
Berbeda halnya dengan Fahdi, siswa kelas X. Ia yang baru kali pertama masuk sekolah di hari itu heran melihat aktivitas teman-teman barunya.
"Saya baru pernah seperti ini," ucap Fahdi, yang rumahnya berjarak sekitar 8 kilometer dari sekolah.
Fahdi menjadi satu-satunya siswa yang berasal dari luar dusun tersebut.
Setelah matahari berada persis di atas kepala, mereka memutuskan kembali ke sekolah. Hari itu mereka mendapat setengah karung kecil buah kopi.
Baca juga: Seorang Pria Mengaku Keluarga Gus Dur Bawa Kabur 2 Cicin Nenek di Banyumas, Ditukar Uang Rp 4.500
Di sisi lain, para siswi diminta membersihkan rumput liar di lahan tepi Telaga Kumpe.
Di lahan yang berada di seberang sekolah itu, belum lama ini ditanami sekitar 50 bibit pohon kopi robusta setinggi lutut orang dewasa.
Usai membersihkan lahan, para siswi diberi tugas mengemas kopi. Kopi tersebut merupakan olahan hasil panen sebelumnya.
Sedangkan, beberapa siswi lainnya juga mempraktikkan menyeduh kopi dengan metode V60.
Heri yang juga menjadi Ketua Panitia MPLS mengatakan, pada masa orientasi ini juga diisi dengan kegiatan lain.
"Ada pelatihan kepenulisan, hafalan surat-surat pendek dan lainnya," ujar Heri.
Salah satu relawan-sebutan untuk pengajar di Sekolah Pakis-Muis mengatakan, anak-anak diajari bagaimana teknik mengolah dan menyajikan kopi yang baik.
Sebab, di wilayah tersebut terdapat ratusan pohon kopi robusta produktif yang sebagain di antaranya milik wali murid, namun tidak terkelola dengan baik.
"Petani di sini belum paham bagaimana menyortir kopi, mengolah, mengemas dan menyajikannya dengan baik," kata Muis.
Koordinator Relawan Sekolah Pakis Isrodin mengatakan, pengolahan kopi merupakan bagian pembelajaran peserta didik untuk mengenali potensi di sekitarnya.
Metode pembelajaran di sekolah ini memang unik. Mereka tidak hanya belajar secara tekstual dari buku-buku ajar.
"Di Pakis ini kan lebih mengedepankan belajar mengenali potensi lingkungan di sekitarnya. Sekolah ini berada di desa hutan. Setelah diidentifikasi ternyata banyak wali murid yang punya tanaman kopi, tapi tidak terawat," tutur Kang Is, sapaannya.
Perlahan sejak 2018 para relawan mulai memberi edukasi melalui para siswanya.
"Ide ini adalah agar bagaimana produk kopi ini melibatkan semuanya, wali murid, relawan, dan anak-anak, ada kolaborasi di sini," kata Is.
Produk kopi yang diberi merek Igir Alas ini juga membuka mata para siswa bahwa sumber daya alam di sekitarnya memiliki nilai ekonomis tinggi.
"Kami melibatkan anak-anak agar tahu bahwa ada nilai ekonomis ketika kopi diolah dan disajikan dengan cara berbeda," ujar Is.
Ia mencontohkan, pemilik kebun kopi biasanya menjual buah kopi secara borongan dengan harga hanya Rp 2.000 per kilogram.