KOMPAS.com - Wayang orang atau wong (bahasa Jawa) mementaskan cerita tentang Ramayana dan Mahabarata.
Dalam pementasannya, wayang orang tidak hanya menyajikan hiburan melainkan juga menyampaikan pesan-pesan moral yang dapat diserap penonton.
Wayang orang berbeda dengan pementasan drama lainnya.
Masing-masing pemain wayang wong memiliki ciri estetis tersendiri yang menggambarkan peran yang dibawakan dalam sebuah gerakan, tata rias, tari, hingga busana yang dikenakannya.
Wayang orang berkembang bersama dengan wayang kulit. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.
Keberadaan tari yang mengisahkan cerita wayang telah disebutkan pada prasasti Wimalasmara di Jawa Timur yang berangka 930 Masehi.
Prasasti tersebut menyebut wayang wwang dalam bahasa Jawa Kuno (kawi), wayang berarti bayangan wwang berarti manusia.
Baca juga: Rahvana Sveta di Atas Panggung Gedung Wayang Orang Sriwedari, Memukau...
Drama tari yang berasal dari Mataram Kuno di Jawa Tengah ini dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan penerusnya seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit.
Saat Kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) sebagai pendiri dan raja pertama Kesultanan Yogyakarta mengubah dan mencipta ulang kesenian tersebut.
Saat Kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) sebagai pendiri dan raja pertama Kesultanan Yogyakarta, mengubah dan menciptakan ulang kesenian wayang orang.
Tujuan utama penciptaan wayang orang oleh Sultan Hamengku Buwoni I adalah estetis, yaitu keinginan Sultan untuk menampilkan sebuah pementasan yang menggambarkan perbuatan kepahlawanan dari para satria yang terdapat dalam epos Mahabarata.
Di Yogyakarta, Wayang Wong ditempatkan di posisi terhormat.
Wayang orang menjadi pertunjukan ritual kenegaraan dan untuk merayakan upacara-upacara penting, seperti ulang tahun dan pernikahan anak Sultan.
Pagelaran wayang orang pertama di Yogyakarta diperkirakan diselenggarakan pada 1757 dengan lakon Gandawardaya, sebuah carangan (cabang cerita) dari kisah Mahabarata.
Baca juga: Menjaga Roh Kesetaraan Gender Lewat Pentas Wayang Orang di Semarang
Saat itu, pertunjukkan masih menggunakan pola pertunjukan wayang kulit, yaitu panggung berbentuk sempit tetapi panjang dan pergerakan pemainnya menggunakan pola dua dimensi.