PURWOKERTO, KOMPAS.com - Bangunan non-permanen dengan cat berwarna kuning kombinasi merah berdiri di dekat petigaan jalan Kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Bangunan tersebut nampak sangat bersih, cat mulus dan plester lantai masih berwana abu-abu tua.
Pada bagian dalam terdapat beberapa jerigen berisi jelantah dan tumpukan barang-barang bekas atau rongsok.
Sementara pada bagian depan bangunan itu terdapat banner dengan tulisan besar "Rumah Sedekah Rongsok dan Jelantah".
Baca juga: Ribuan Burung Pipit Berjatuhan di Bali, Ini Dugaan Penyebab dan Analisanya
Bangunan yang tidak terlalu besar itu baru saja diresmikan, Kamis (9/9/2021), sebagai tempat penampungan jelantah dan barang rongsok yang dikumpulkan dari para warga RW 005 kelurahan setempat.
Warga mengumpulkan jelantah dan barang-barang rongsok dari rumah masing-masing secara sukarela.
Kemudian uang hasil penjualan digunakan untuk membantu warga yang terdampak pandemi.
Ketua RW 005 Kelurahan Karangklesem Sigit Fatoni mengatakan, sedekah jelantah dan rongsok telah dimulai sejak awal pandemi Covid-19, tepatnya di bulan Mei 2020 lalu.
"Kami melihat banyak warga terdampak secara ekonomi. Jadi kami membuat konsep bagaimana agar bisa membantu mereka tanpa membebani warga lainnya," kata Toni, sapaannya.
Selain itu, gerakan tersebut sekaligus untuk menjaga lingkungan sekitar agar tidak tercemar limbah.
"Ini untuk menjaga lingkungan agar tidak membuang sembarangan plastik dan jelantah. Di mana jelantah ini bisa membahayakan lingkungan," ujar Toni.
Menurut dia, jelantah tidak bisa diurai melalui pembuangan domestik keluarga. Jika dibuang ke tanah di belakang rumah misalnya, juga mengakibatkan tanah tidak produktif.
Sedangkan apabila dibuang ke selokan, maka air akan menjadi keruh dan bau.
"Jelantah setahu saya kalau digunakan berulang kali tidak bagus untuk kesehatan. Jadi selain mengedukasi masyarakat, kami juga berusaha menyelamatkan lingkungan," ujar Toni.
Toni menceritakan, jelantah dan rongsok itu awalnya dikumpulkan di salah satu rumah warga. Si pemilik rumah yang bertugas untuk memliha sebelum dijual ke pengepul.
"Awalnya kebetulan di sini ada tukang rongsok, tapi sudah sepuh. Kami mencari rongsok untuk membantu bapak ini, bapak cukup memilah di rumah, hasilnya 50:50," kata Toni.
Ternyata antusiasme masyarakat di RW yang dihuni sekitar 430 kepala keluarga (KK) itu cukup tinggi. Sehingga pengurus RW membangun Rumah Sedekah Jelantah dan Rongsok di atas tanah warga.
Setia rumah difasilitasi botol untuk menampung jelantah dan karung untuk mengumpulkan rongsok.
Lebih lanjut Toni mengatakan, setiap bulan dapat mengumpulkan antara 4 hingga 8 derijen jelantah ukuran 18 liter.
Setiap derijen dijual kepada pengepul yang telah menjalin kerja sama sebebsar Rp 100.000 per derijen.
"Jelantah ini akan diolah menjadi bio diesel. Kami sudah memastikan kepada pengepul bahwa jelantah ini tidak diolah lagi menjadi minyakl goreng, mereka sudah berizin," ujar Toni.
Baca juga: Mau Direnovasi Menteri, Pasar Bawah Bukittinggi Terbakar, 300 Lapak Jadi Abu
Sedangkan untuk barang-barang bekas yang djual harganya bervariasi, tergantung jenisnya, seperti botoh plastik, kaleng, hingga mesin cuci yang rusak.
"Setiap bulan rata-rata terkumpul uang hasi penjualan jelantah dan rongsok sekitar Rp 2 juta," ungkap Toni.
Uang tersebut kemudian didistribusikan untuk warga yang membutuhkan melalui gerakan Wadas Kelir Berbagi.
Toni menuturkan, bantuan tersebut disalurkan untuk warga terdampak pandemi Covid-19 yang belum ter-cover program pemerintah.
Selain itu juga untuk lansia yang tidak mampu dan beasiswa pendidikan untuk siswa tidak mampu.
Ke depan rencananya uang tersebut juga akan diolah untuk pemberdayaan masyarakat.
"Kebetulan kemarin banyak warga yang kami terpapar Covid-19, kami beri bantuan senilai Rp 200.000 dalam bentuk sembako dan uang tunai," kata Toni.
Salah satu warga RT 003 RW 005, Amsiah (49) mengatakan, secara rutin mengumpulkan jelantah dan barang-barang rongsok.
"Kalau dijual tidak seberapa, lebih baik kita sedekahkan untuk orang lain. Kadang saya kumpulkan selama satu bulan, kadang sampai dua bulan. Kebetulan saya ketua dasawisma, dikumpulkan jadi satu," kata dia.
Baca juga: Seorang Guru di Jember Jadi Korban Pelecehan Seksual Orang Tak Dikenal Saat Hendak Mengajar
Sebelum ada gerakan tersebut, dia mengaku, membuang minyak sisa penggorengan melalui saluran tempat cuci piring.
"Dulu dibuang semaunya, saya pakai maksimal dua kali, setelah itu dibuang. Kebetulan ada program ini, jadi tidak mubazir," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.