SEMARANG, KOMPAS.com - Psikolog asal Kota Semarang, Probowati Tjondronegoro menyoroti kasus bocah tujuh tahun tewas usai ditenggelamkan orangtua karena nakal di Temanggung, Jawa Tengah.
Menurutnya, jika dilihat dari sisi lain orangtua memiliki tujuan baik agar anaknya tidak nakal, namun mencari solusi dengan cara yang salah karena percaya kepada orang pintar atau dukun.
"Saya kok tidak setuju ya kalau orangtuanya salah banget. Memang salah, tapi kan dia ingin anaknya tidak nakal. Segala upaya ditempuh kebetulah pembisiknya salah," ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (20/5/2021).
Baca juga: Kronologi Penemuan Jasad Bocah 7 Tahun yang Disimpan Orangtuanya Selama 4 Bulan
Ia menjelaskan, peristiwa tersebut bisa saja terjadi karena faktor ketidaktahuan orangtua dalam memberi pemahaman kepada anaknya.
"Jadi saya bukan berpikir karena orangtua itu benci anaknya, tapi ingin biar tidak ada genderuwonya jadi tidak nakal. Ini karena ketidaktahuan," ungkapnya.
Dalam kasus tersebut, orangtua hanya berharap baik agar anaknya tidak nakal.
"Saya positifnya karena saking sayangnya sama anaknya maka dilakoni. Siapa orangtua yang ingin anaknya nakal. Disebut ada genderuwonya juga nurut," katanya.
Menurutnya, tidak ada istilah nakal bagi anak seusia korban. Usia tersebut merupakan usia di mana rasa ingin tahunya tinggi.
"Kalau saya tidak mau dan tidak suka istilah nakal. Anak-anak itu aktif dan kreatif karena nakal itu labeling. Jangan sembarangan menjudge anak," katanya.
Baca juga: Bocah 7 Tahun yang Ditenggelamkan karena Dianggap Nakal Dikenal Pintar Mengaji
Dikatakan Probo, orangtua jika merasa anaknya nakal seharusnya menjadi bahan untuk instropeksi diri.
Sebab, pembelajaran anak-anak paling pertama adalah di rumah dan meniru lingkungan terdekat termasuk orangtua.
"Anak itu belajar model, sekolah pertama adalah rumah. Kalau bapak ibu sering berantem maka anak-anaknya mikir kalau mau sesuatu harus marah dulu teriak dulu seperti bapak ibu. Kita tidak bisa serta merta anak nakal karena diparani genderuwo," tegasnya.
Selain itu, faktor stres juga disebut bisa menyerang anak-anak selama pandemi Covid-19.
Salah satu yang bisa memengaruhi psikologis anak yakni banyak larangan dari orangtua, namun tanpa adanya solusi.
Dia mencontohkan, larangan bermain ponsel tapi orangtua tidak memberi alternatif, justru orangtua sibuk dengan ponselnya sendiri.
"Itu memang tidak disadari. Orangtua banyak 'jangan' tapi tanpa solusi. Apalagi anak-anak juga bisa stres loh. Apalagi ini lagi (pembelajaran) daring," katanya.
Ia menyarankan, orangtua harus bisa memperbaiki komunikasi dengan anak-anaknya ketika tingkah sang anak dinilai nakal.
"Misal, kamu jangan main handphone, yuk sama mama, main masak-masakan. Nah itu kan solusi," ujarnya.
Seperti diketahui, korban A, bocah perempuan yang masih duduk dibangku sekolah dasar (SD) ditemukan warga dalam kondisi meninggal dunia di kamar rumahnya di Desa Congkrang, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung, Minggu (16/5/2021) malam.
Mayat bocah itu tergeletak di atas ranjang dalam kondisi kering, tinggal kulit dan tulang.
Polisi menyebut, mayat korban sengaja disimpan orangtuanya sejak 4 bulan yang lalu, sebagai bagian dari ritual ruwat.
Sebanyak empat orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Temanggung, Jawa Tengah, atas kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan bocah malang itu meninggal dunia.
Mereka adalah ayah korban M (43), ibu korban S (39), tetangga korban H (56) dan B (43).
H merupakan dukun yang meminta M dan S untuk menganiaya korban dengan dalih ritual menghilangkan sifat nakal korban. Sedangkan B adalah asisten H.
Jasad korban pun sengaja disimpan di kamar karena orangtua A percaya jika H, tetangga yang dikenal sebagai "orang pintar" atau dukun di wilayahnya itu memiliki kemampuan bisa menghidupkan kembali anaknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.