Jakarta, Kompas -
dengan masyarakat Papua.
Penggiat demokrasi dan hak asasi manusia di Papua, Markus Haluk, Senin (17/6), saat dihubungi di Jayapura, mengakui, aparat keamanan cenderung menyelesaikan persoalan dengan cara adat, seperti bayar denda. ”Harusnya aparat bisa mencegahnya dengan dialog sebelum terjadi peristiwa, bukan setelah terjadi,” ujarnya.
Namun, tambah Markus, sikap warga lebih disulut sejumlah kasus yang pernah dialami. ”Warga kerap disalahkan soal minuman keras, padahal kehadiran minuman keras belum diungkap. Setiap ada yang mabuk, kesempatan aparat memukul warga. Tentu saja, mereka tak terima,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, sekelompok massa menyerang dan membakar kantor Kepolisian Resor Pegunungan Bintang pada sekitar pukul 10.45 WIT.
Menurut Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar I Gde S Jaya, penyerangan dipicu berita tak benar. Peristiwa sebenarnya justru ada pemalakan oleh warga
mabuk. Meskipun diingatkan, mereka tak mau terima sehingga saling dorong, yang membuat
warga kena popor senapan. ”Namun, berita yang tersebar, warga dibunuh. Warga pun datang membawa busur dan anak panah. Sembilan polisi, seorang TNI, dan dua warga luka,” ujarnya.
Menyusul kejadian itu, Kepala Polda Irjen Tito Karnavian, didampingi anggota stafnya, datang ke lokasi, selain mengirim pasukan tambahan. Di Jakarta, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Timur Pradopo menyatakan, kondisi Pegunungan Bintang sudah dikendalikan dengan baik,” katanya.