”Dari skala 1-10, ternyata indeks persepsi negara hukum Indonesia hanya mencapai poin 4,53. Tidak menggembirakan karena hasilnya kurang dari setengah,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable Todung Mulya Lubis, Jumat (31/5), di Jakarta, saat meluncurkan laporan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012.
Indonesian Legal Roundtable menyurvei 1.220 orang di seluruh Indonesia untuk menemukan persepsi publik terhadap negara hukum Indonesia. Survei ini didukung Tahir Foundations, yang juga mendukung penyelenggaraan penghargaan Yap Thiam Hien, pembatasan transaksi tunai untuk mencegah korupsi, penelitian di Universitas Indonesia terkait konflik sosial, dan penelitian tentang kebijakan TKI.
Todung menambahkan, dalam 15 tahun dapat dikatakan pemberantasan korupsi berjalan lambat. ”Korupsi di Indonesia dalam persepsi publik dinilai lebih buruh dibandingkan di Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan kalah dari Timor Leste,” katanya.
Anggota Komisi Hukum Nasional, M Fajrul Falaakh, mengakui, reformasi hukum memang belum terlalu berhasil. ”Pengawasan hakim, kan, misalnya baru dimulai tahun 2006. Jadi, baru satu periode terakhir ada pengawasan hakim yang lebih konsisten,” ujar Fajrul.
Dari survei bahkan diketahui, independensi kekuasaan kehakiman hanya meraih poin 4,72.
”Ketika tulang punggung lembaga penegakan hukum rapuh, dapat dibayangkan bagaimana jadinya sebuah negara hukum. Menurut saya, dari seluruh survei ini, poin ini yang harus segera dibenahi,” katanya.
Hasil survei, hanya 49 responden yang menjawab hakim di Indonesia bersih dari praktik suap. Hanya 30 persen responden yang menyetujui pernyataan bahwa hakim tidak dapat dipengaruhi pihak lain saat memutus perkara. Sebaliknya, 40 persen responden percaya bahwa hakim dapat dipengaruhi.
Sebanyak 33 persen responden menganggap pengusaha paling sering memengaruhi keputusan hakim. Pihak lain yang dianggap dapat memengaruhi hakim adalah partai politik (30 persen), pemerintah (24 persen), dan tokoh masyarakat (5 persen).
Fajrul juga menyoroti tentang persepsi adanya ”permainan” dalam rekrutmen hakim. ”Ya, bagaimana, calon hakim agung yang sudah diseleksi Komisi Yudisial, misalnya, harus dipilih lagi oleh DPR,” ujarnya.