Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Minus Kebudayaan

Kompas.com - 04/05/2013, 02:47 WIB

Karena hal itu, pendidikan di negeri ini berlangsung tanpa nilai-nilai pendidikan. Sekolah menjelma menjadi sebuah institusi bagi bermuaranya kepongahan sekaligus kebebalan kuasa. Siswa berada di ujung persoalan sebagai pihak yang selalu dijadikan alibi: generasi mendatang harus diselamatkan. Omong kosong!

Sementara guru didesak ke posisi dilematis: di satu sisi ia dituntut kreatif dan memiliki kemampuan mumpuni, tetapi pada sisi yang lain dibebani berbagai aturan yang membelenggu. Bahkan, haknya untuk menentukan kelulusan siswa pun digerus UN hingga 60 persen.

Akibatnya, beranalogi pada Louis Althusser (1984), sekolah tidak lagi bisa disebut sebagai ideological state apparatuses yang menanamkan nilai secara ideologis persuasif. Sekolah justru menjadi repressive state apparatuses yang melesakkan nilai secara represif hingga bawah sadar siswa, juga guru.

Karena itu, tidak ada lagi proses berbudaya dalam pendidikan. Yang terjadi adalah kamuflase kuasa. Dalam situasi seperti ini, konsep dan tindak yang berhubungan dengan kreativitas siswa tidak lahir dan tumbuh dari dan untuk kehidupan siswa itu sendiri, melainkan sesuatu yang dibayangkan oleh kekuasaan.

Periksalah soal-soal pilihan dalam UN, misalnya. Jenis soal ini mengamuflase kebebasan dan kreativitas siswa. Di dalam jenis soal pilihan sesungguhnya tidak ada pilihan sebab siswa tidak bisa memilih selain materi pilihan yang disodorkan. Inilah jalan melingkar kepongahan kuasa.

Dewan Pendidikan

Agar situasi demikian tidak terus-menerus berlangsung, ranah substansial pendidikan harus diberikan kepada pihak yang independen semacam Dewan Pendidikan yang secara administratif bertanggung jawab kepada Kemdikbud. Di dalam dewan yang independenlah pembahasan segala materi dan substansi pendidikan dapat berlangsung dengan fokus, kritis, dan demokratis.

Pemerintah sebaiknya mengurus bidang-bidang penting lain yang sejauh ini tetap terbengkalai. Infrastruktur, fasilitas belajar mengajar, peningkatan kualitas guru, dan kesejahteraan guru adalah beberapa contoh yang masih jauh di bawah anggaran pendidikan yang katanya 20 persen dari APBN itu.

Ingat, upaya peningkatan kualitas guru harus kontinu, tidak cukup dengan hanya melatih guru lima hari ketika kurikulum akan diubah. Program ini juga tak tepat diidentikkan dengan peningkatan kesejahteraan seperti yang terjadi pada sertifikasi guru. Iming-iming uang pada sertifikasi adalah penghinaan terhadap kemanusiaan. Mentalitas guru dibetot ke struktur paling luar duniawi. Ini contoh yang sangat buruk dalam dunia pendidikan.

Pemimpin harus paham

Untuk mencapai hal itu, mula-mula dibutuhkan seorang pemimpin, dalam hal ini menteri yang memahami betul situasi dan kondisi persekolahan kita. Menteri yang memahami hal ini hanyalah ia yang memiliki kemampuan, ketahanan, dan keberanian untuk ”turun blusukan” ke dalam gelanggang persoalan.

Secara teknis—maaf bukan teknis penyebaran soal UN, sang menteri juga harus kerap mengunjungi sekolah-sekolah—yang bisa juga dihimpun menjadi wilayah atau gugus—yang tersebar di seluruh pulau. Menteri yang hanya bekerja mengandalkan struktur birokrasi seperti sekarang ini dijamin tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan. Hari ini kita membutuhkan pemimpin yang berani menerobos struktur serta berpikir dan bekerja keluar dari kerangka (out of the box). Menteri seperti inilah yang akan mengerti geopolitik sekaligus ”geokultur”. Dengan demikian, menteri seperti ini juga mampu menciptakan pendidikan sebagai proses berbudaya!

Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com