Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa Pun Bersemangat Menerjang Barito

Kompas.com - 28/04/2013, 04:30 WIB

Di langit mendung menggelayut. Rasa cemas siswa bertambah. Mereka khawatir hujan turun. Tubuh basah kuyup harus ditanggung. Pada hari pertama UN, Senin lalu, Sifa dan Ali Hidayat (16), siswa lainnya, terpeleset saat meloncat dari kelotok ke dermaga. Dengan pakaian basah, mereka menyambut UN.

”Saat jalanan baru diguyur hujan, kubangan dan lumpur menghadang. Jika sudah begitu, percuma saja memakai sepatu bersih,” imbuh Ali.

Setelah sekitar 30 menit menyusuri sungai, peserta UN tiba di tempat tujuan. Namun, mereka harus berjalan lagi sekitar satu kilometer, termasuk menyusuri jalan setapak melewati hutan. Nyaris saja mereka terlambat. Mereka tiba sekitar pukul 07.20, atau hanya 10 menit sebelum ujian dimulai.

Kepala Desa Pendreh Ating Jerman mengatakan, ia sudah lama meminta agar SMPN bisa didirikan di desanya. Pilihan lain adalah menjadikan SMP PGRI Pendreh sebagai sekolah negeri. ”Kami khawatir jika perahu yang mereka tumpangi itu terbalik. Jika ada SMP negeri, UN bisa digelar di Pendreh,” jelasnya lagi.

Sebatang kara

Ating mengaku sudah bosan menyampaikan permintaan agar siswa itu tak mencarter kelotok. Apalagi banyak dari mereka termasuk keluarga kurang mampu. Bahkan, Sefriadi (17), misalnya, adalah anak sebatang kara. Ibunya sudah wafat dan ayahnya pergi karena menikah lagi.

Sefriadi menanggung biaya hidupnya dengan bekerja sebagai buruh penyadap karet. Ia tinggal di rumah kakaknya. Pendapatan Sefriadi tak lebih dari Rp 300.000 per bulan. Ia tidak bisa bekerja jika musim hujan karena pohon karet menghasilkan sedikit getah.

Ongkos mencarter kelotok bagi Sefriadi terasa amat berat. Namun, ia bersikukuh mengikuti UN. Ia mengangsur iuran sewa kelotok selama tiga bulan. ”Berat sekali biaya itu buat saya. Namun, saya harus mengikuti ujian,” tegasnya.

Ongkos sewa kelotok itu tak sebanding dengan uang sekolah di SMP PGRI Pendreh, yang hanya Rp 10.000 per bulan. Namun, harga solar di Barito Utara yang mencapai Rp 12.000 per liter memang membuat siswa tak memiliki pilihan lain.

Beberapa siswa juga tetap bersemangat mengikuti UN, menentang maut membelah Sungai Barito meski mereka baru saja dilanda musibah. Eka Sinta (14), Kapriani (15), dan Suprianto (17) harus pindah ke rumah nenek atau keluarga sebab rumah mereka habis terbakar. Namun, mereka tak menjadikan peristiwa itu sebagai gangguan untuk menghadapi ujian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com