Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelompok Siaga di Hilir Bencana

Kompas.com - 19/04/2013, 03:33 WIB

INGKI RINALDI

Sepintas apa yang dilakukan sebagian warga di perkampungan Jalan Tanjung Indah, Parak Ubi, Kecamatan Nanggalo, Kota Padang, Sumatera Barat, tak lebih sekadar duduk sembari mengobrol di pos jaga. Mereka juga tengah bersiaga untuk menghadapi bencana berupa banjir akibat luapan sungai dan banjir bandang dari hulu Sungai Kuranji.

Kesadaran mengenai bencana banjir yang kerap mengancam wilayah tersebut menjadi dasar kesiagaan mereka. Sejak Desember 2004, ancaman itu makin bertambah dengan adanya potensi tsunami. Kesadaran ini seperti beriring sejalan kesadaran warga akan mitigasi bencana seperti yang kini tumbuh di Aceh.

Apalagi, energi potensial gempa dengan magnitudo hingga 8,9 skala Richter kini tersimpan pada segmen Mentawai Megathrust di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Perhitungan sejumlah ahli geologi menunjukkan, bila energi itu terlepas, sejumlah kawasan pantai barat Sumatera bakal terkena dampaknya.

Di Sumatera Barat terdapat tujuh kabupaten/kota yang kemungkinan terkena dampaknya, yaitu Kota Padang, Pariaman, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Agam, dan Pasaman Barat.

Untuk mengawasi terus-menerus kemungkinan ancaman bencana itu, jelas diperlukan kesiapsiagaan sepanjang masa. Ini berarti ketersediaan sumber daya manusia yang mampu dan mau melaksanakannya. Bagi warga di permukiman tersebut, sumber daya ini tersedia melimpah. Setiap hari, mereka terkonsentrasi di sebuah pos sistem keamanan lingkungan (siskamling) berupa bangunan kayu dengan ukuran sekitar 6 meter x 6 meter dikelilingi bangku kayu memanjang. Mereka adalah warga di kawasan tersebut. Laki-laki, perempuan, tua, dan muda yang senantiasa berbaur nyaris setiap waktu selama 24 jam. Zarmawi (60), salah seorang warga, mengatakan, pos itu dibangun antara tahun 1981 dan 1982. Selain sebagai pos keamanan, posko kayu dengan atap dan dinding seng itu, menurut Zarmawi, kerap difungsikan sebagai bagodang (balai pertemuan).

Paling ramai

Sejak dibangun pada tahun 1980-an, konstruksi kayu belum mengalami perubahan. Hanya atap rumbia yang kini diganti seng, serta beberapa bagian dinding seng keropos yang diganti satu per satu. Sejak 2001, warga yang berkumpul di pos ditemani sebuah televisi warna ukuran 21 inci. Televisi itu disumbangkan seorang warga bernama Usman Tanjung. ”Pak Usman meninggal sekitar dua tahun lalu,” sebut Zarmawi.

Namun, hingga kini televisi itu tetap menjadi teman bagi warga yang tengah berkumpul sembari memantau keadaan sekitar. Pemutakhiran kondisi setelah gempa, seperti potensi tsunami, merupakan jenis informasi yang paling banyak dicari warga dari tabung kaca itu.

Di antara tiga pos sejenis di kawasan permukiman itu, pos tersebut merupakan yang paling ramai. Letaknya di satu pinggiran aliran Sungai Kuranji di barisan terdepan dari garis pantai. Jaraknya dari bibir pantai sekitar 2 kilometer. Kawasan tersebut termasuk zona merah paparan tsunami.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com