Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andai Pantai Losari Jadi Model Ruang Publik Gratis

Kompas.com - 05/01/2013, 02:54 WIB

Musik disko pengiring senam aerobik terdengar dari pelantang di pinggir Pantai Losari, Minggu (30/12). Suaranya bersaing dengan tukang obat dan terompet untuk perayaan Tahun Baru yang dijajakan para pedagang di sepanjang plasa kebanggaan warga Kota Makassar, Sulawesi Selatan, itu.

Ratusan orang senam bersama mengikuti gerakan pelatih di atas panggung. Sebagian bergerak tidak maksimal karena keterbatasan ruang. Plasa memang tidak hanya diisi peserta senam. Banyak orang datang sekadar duduk-duduk di plasa yang disebut pantai oleh warga setempat. Padahal, pembatas plasa dengan air laut berupa dam beton, bukan hamparan pasir seperti lazimnya pantai.

Warga Makassar tak hirau soal pembatas itu. Mereka lebih sibuk menikmati Minggu pagi di tempat terbuka. Dari berbagai penjuru mereka memadati Losari. Mereka datang dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau sepeda motor. Sebagian menggunakan mobil yang diparkir paling dekat 1 kilometer dari plasa. Losari memang tertutup bagi kendaraan bermotor setiap Minggu pagi.

”Di sini bisa lihat laut, jajan makanan kecil atau benda lain. Kalau suka, bisa ikut senam,” ujar Muhklas (43), warga Kelurahan Mangkura, Makassar, yang datang bersama keluarga.

Sebagian warga berfoto di tulisan Pantai Losari. Huruf dari serat plastik dan bisa bersinar di malam hari itu salah satu latar foto paling terkenal di kota ini.

Selain Losari, warga juga berjalan-jalan di taman di sekitar Benteng Rotterdam. Di depan dan samping benteng tempat Pangeran Diponegoro diasingkan itu terdapat taman. Tidak ada sampah dan hanya ada beberapa titik coretan di sekitar taman.

Tulisan Fort Rotterdam dari plastik dan bisa bersinar di malam hari juga menjadi sudut pemotretan.

Untuk ukuran kota sebesar Makassar, luas Plasa Losari dan taman sekitar Benteng Rotterdam relatif kecil. Namun, kedua tempat itu menjadi ruang terbuka bagi kota yang sudah jadi bandar internasional sejak pengujung abad 15 itu.

Di setiap kota sibuk, warga memerlukan ruang terbuka gratis, ramah, dan mudah dijangkau dari tempat tinggal mereka. Ruang terbuka menjadi tempat interaksi sosial yang dapat mengalihkan warga dari kesibukan sehari-hari.

Dalam pandangan pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Johan Silas, ruang terbuka yang mudah diakses akan meredam sifat pemberang warga kota. Sifat itu konsekuensi alami dari setiap kota sibuk yang menuntut warganya dengan aneka hal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com