Sejak keributan pada Sabtu malam, Santri belum kembali ke rumah. Kemeja kotak-kotak, kaus kuning, dan celana pendek belum digantinya sejak pertama kali menyelamatkan diri. Ada bekas getah karet di kausnya.
Santri sedih akan kerugian yang diderita, tetapi ia mengaku tidak menyimpan dendam. ”Buat apa (dendam)? Semua sudah diatur oleh Yang Kuasa. Nanti kalau teman-teman kembali ke Balinuraga, ya, saya akan ikut, dan bertani kembali,” katanya.
Perasaan serupa diutarakan petani muda, Made Rasta (30). Dia memang baru empat tahun tinggal di Balinuraga, tetapi keluarga besarnya, sekitar 40 orang, telah 30 tahun bercocok tanam di desa tersebut.
Made memiliki traktor bajak dan mesin perontok padi. Saat kerusuhan pecah, dia menyimpan 25 karung padi ciherang
Seperti Santri, dia juga beternak. Made memiliki 2 babi dewasa dan 10 anakan, serta 2 sapi. ”Hasil panen dan alat-alat pertanian semua hangus. Ternaknya tidak tahu ke mana,” ujar Made yang rumahnya juga terbakar.
Made masih ingin kembali bertani di Balinuraga meskipun harus memulai dari nol. Dia berharap pemerintah membantu para petani memulai kembali kehidupan. ”Tidak ada perasaan dendam. Kami yakin bisa hidup kembali, saling menghormati seperti dulu,” katanya.
Untuk saat ini Made, Santri, dan Darsa merasa terbebas dari kengerian yang mereka hadapi sepanjang akhir pekan lalu. Lokasi pengungsian di Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung, itu jauh dari tempat terjadinya keributan, yaitu sekitar dua jam perjalanan menggunakan mobil.
Para pengungsi menempati empat aula sekolah itu. Aula terbesar, yaitu Gedung Anton Sujarwo, ditempati 569 orang atau 114 keluarga. Di aula itu, mereka tidur beralaskan terpal. Ada yang menambahi dengan kasur, ada juga dengan tikar yang sempat mereka bawa.
Setiap aula dilengkapi kamar mandi. Air bersih dari PDAM setempat dan kepolisian. Namun, air itu cepat habis. Wayan Siti (38) terpaksa mengurungkan niatnya untuk mandi.
Bantuan bahan makanan dari individu dan kelompok masyarakat juga datang silih berganti, seperti mi instan, air minum kemasan, dan beras. Ada dua tenda dapur umum yang telah berdiri dari Dinas Sosial Provinsi Lampung dan Palang Merah Indonesia.
Menurut Maria Tamtina, Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Provinsi Lampung, setiap dapur umum sekali masak untuk 750 nasi bungkus. Satu hari dua kali masak. Romo Marius CP, rohaniwan yang menyalurkan bantuan, mengusulkan agar petugas dapur umum bisa ditambah dari sukarelawan dan pengungsi. Semangat untuk memulai hidup baru secara berdampingan yang diutarakan pengungsi harus tetap