Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Pohon Kebangsaan

Kompas.com - 27/10/2012, 02:18 WIB

Humaniora tersisih, dikalahkan ilmu-ilmu praktis untuk bekal kerja di sektor modern. Ujian nasional jadi satu-satunya kriteria sukses belajar-mengajar, mengingkari realitas ketidakmerataan dan kemajemukan. Paradigma pendidikan kita mengabaikan esensi kebutuhan sejati manusia: keseimbangan olah akal-budi, otak dan watak.

Orientasi pada hasil menabrak kaidah paedagogik, menyuburkan mentalitas menerabas, mengagungkan gelar dan pangkat. Penghayatan berbangsa pudar. Banyak sekolah berlabel khusus meniadakan upacara bendera, tak menyanyikan ”Indonesia Raya” dan berkhidmat kepada Pancasila dan Mukadimah UUD 1945.

Hasilnya adalah miskin budi pekerti. Petunjuknya: disiplin sosial rendah, emosional, intoleran, dan kekerasan marak. Tayangan bermacam peristiwa dan tragedi mengiris hati dan laporan di media massa yang mengusik nurani cukup menjelaskan kerusakan ini.

Yang juga menyedihkan adalah hampa rasa hayat sejarah. Banyak pernyataan elite mengingkari kebinekaan. Sebagian sibuk berdebat untuk perkara-perkara situasional dan sudah jelas duduk-soalnya. Sebuah indikasi kedangkalan peradaban ketika wacana publik ingar-bingar oleh kegaduhan kering makna.

Kedua, meluasnya hipokrisi. Mentalitas hipokrit yang meluas menumbuhkan berbagai paradoks. Bahkan, semarak beragama belum melansir kesalehan sosial, tapi tidak mampu mendarahdagingkan moralitas agama pada sistem sosial. Ekspresi beragama lebih simbolik-politik ketimbang substansi esoterik. Disorientasi nilai ini jadi petunjuk suburnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di kancah politik- ekonomi. Juga tergerusnya ketulusan menghargai perbedaan yang demikian indah diteladankan para Bapak Bangsa.

Indonesia turut meratifikasi Konvensi HAM PBB, tapi upaya menuntaskan kasus pembunuhan Munir, aktivis hilang, dan aneka tindak penistaan kemanusiaan tidak mencerminkan penghormatan atas konsekuensi itu. Pembiaran sejumlah rekomendasi Komnas HAM menunjukkan absennya kuasa negara.

Ketiga, langka keteladanan otentik. Sekarang, menjadi pemimpin harus punya modal besar. Kota-desa dipenuhi spanduk, baliho wajah para calon pembesar. Pemimpin bukan tumbuh bersemi dan beroleh pengakuan dari rakyat, tapi dimunculkan partai.

Tatkala pohon kebangsaan terusik, kita sadar telah kehilangan pribadi-pribadi besar, kukuh prinsip, dengan erudisi mengagumkan seperti Gus Dur dan Cak Nur. Belum muncul lagi tokoh otentik untuk mendobrak kebuntuan dialog, mengawal persatuan dalam keberbedaan.

Pohon yang perlu dirawat

Kondisi darurat sejak reformasi hingga kini merupakan tantangan bersama. Dari keprihatinan, kita berharap muncul kesadaran, bermuara pada resonansi gerakan menuju ikhtiar besar bersama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com