Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Pohon Kebangsaan

Kompas.com - 27/10/2012, 02:18 WIB

Oleh Suwidi Tono

Dari Sumpah Pemuda 1928 kita mewarisi semangat bersatu dalam keragaman, kesetaraan, martabat luhur. Maklumat penegasan satu bangsa-negara dan menjunjung bahasa persatuan dari generasi avant- garde Indonesia itu juga mengusung keyakinan tinggi: Ibu Pertiwi dapat dan memiliki semua syarat menjadi bangsa besar.

Bagaimana Indonesia hari ini? Kita belajar dari 15 tahun perjalanan reformasi, kehidupan bermasyarakat, dan bernegara. Kesimpulannya: tidak menggembirakan. Kita terus-menerus menyia-nyiakan peluang dan harapan.

Dari kinerja dan hubungan antarlembaga negara, mengemuka komplikasi dan oligarki. Belum terbangun simbiosis eklektik: saling memajukan-memampukan. Yang mencuat politik transaksional sesaat. Masing-masing sibuk pada agenda sendiri, alpa membereskan aneka malapraktik kewenangan.

Korupsi tidak menunjukkan gejala surut meski banyak pejabat, pengusaha, kader partai, aparat dipenjarakan. Konflik suku, agama, ras, antargolongan (SARA) dan vertikal-horizontal: tawuran pelajar, ormas, antarwarga, massa-aparat, kerap timbul. Pertanda agregasi sosial melemah.

Korelasi fakta ini jelas tecermin dari memburuknya posisi Indonesia dalam Indeks Negara Gagal yang dirilis organisasi nirlaba Fund for Peace (Kompas, 20/6). Juga merosotnya kualitas pemerintahan sebagaimana laporan lembaga riset terkemuka Freedom House (Kompas, 19/9).

Kita terinspirasi Peter F Drucker: Tak ada negara terbelakang, yang ada hanyalah salah urus! Agar tak keliru mengelola masa transisi yang rawan konflik kepentingan, Seymour M Lipset (1993) mengingatkan: ”Perlu waktu cukup untuk melembagakan komitmen, pekerjaan, nilai-nilai, pada fase transformasi menuju negara demokratis dan maju.” Jadi, kita harus sabar dan cermat mengawal tahap kritis reformasi.

Miskin karakter

Kita perlu menjejak hakikat persoalan. Salah satu sumber utama ”penyakit” bangsa adalah miskin karakter. Di sini dikemukakan tiga biang keladinya.

Pertama, pendidikan yang melumpuhkan nalar. Atas nama standardisasi, ruang untuk kreatif dan kritis dibatasi. Pelajaran mengarang lenyap dari kurikulum, melengkapi rendahnya tradisi baca masyarakat. Penyair Taufiq Ismail (1997) masygul ketika mendapati wajib baca sastra di SMA negeri adalah nol, bandingkan dengan enam judul buku per tahun di Malaysia dan 32 judul di Amerika Serikat. Kegenitan mengejar sukses menurut ukuran kekinian pernah disindir budayawan Kuntowijoyo (”Mentalitas Bangsa Klien”, Kompas, 23/12/2004) dan Umar Kayam (novel Jalan Menikung, 2000).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com