Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Menugal", Kesahajaan Dayak Meratus dalam Bertani

Kompas.com - 07/08/2012, 12:53 WIB

Oleh Hasan Zainuddin

Manugal sebutan warga Dayak Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan untuk bertani di lahan kering atau gunung, manugal bisa jadi sebuah proses dalam penanaman padi ala Dayak tersebut.

Seperti dalam proses bertani, yaitu laki-laki menugal (melubangkan lahan untuk benih) dan perempuan memasukkan benih padi ke lubang tugal dengan jarak tanam 20cm x 20cm, dimana setiap lubang diisi 5-7 benih.

Lubang tugal tidak ditutup, dibiarkan terbuka, tapi lama kelamaan lubang itu dengan sendirinya akan tertutup oleh tanah akibat aliran air hujan pada permukaan tanah.

Merasakan dan ikut menyatu dalam kebiasaan Warga Dayak Pegunungan dalam bertani itulah yang dilakukan dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Abdul Haris Mustari, MSc.

Abdul Haris berada di Pegunungan Meratus sebagai peneliti yang tergabung dalam Tim Eksepedisi Khatulistiwa berlangsung April-Juli 2012 lalu.

Sebelum menanam, katanya dilakukan ritual, yaitu membakar dupa  yang dibawa mengelilingi lahan yang akan ditanami sebanyak tiga kali sambil membaca mantra yang isinya adalah doa dan permohonan kepada YMK  agar hasil padi melimpah dan dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.

Varietas padi di komunitas petani Dayak Meratus sangat tinggi, tercatat minimal 28 varietas padi, baik padi biasa maupun padi pulut (lakatan),kata Haris Mustari dalam sebuah tulisan yang disampaikan kepada penulis melalui email.

Orang Dayak telah melestarikan berbagai varietas padi secara turun temurun karena itu lingkungan alam Dayak telah menjadi bank gen (gene pool) untuk berbagai varietas padi yang sangat penting dilestarikan karena diperlukan dalam rangka pemuliaan padi yang lebih unggul yang diperlukan manusia.

Selain padi, orang Dayak juga menanam berbagai jenis palawija dan tanaman tahunan yang menunjang kehidupan mereka.

Beberapa varietas padi yang ditanam orang Dayak diantaranya Sabai, Tampiko, Buyung, Uluran, Salak, Kanjangah, Kihung, Kalapa, Uluran, Kunyit, Briwit, dan Sabuk. Selain padi biasa, juga ditanam padi pulut atau lakatan yaitu jenis Kariwaya, Kalatan, Harang, Samad dan Saluang.

Di antara berbagai varietas padi itu, Buyung dan Arai adalah yang paling digemari karena wangi dan enak rasanya.  Semua padi yang ditanam adalah varietas lokal, umur panen enam bulan.

Bersamaan dengan penanaman padi itu, juga ditanam berbagai jenis palawija seperti singkong atau disebut gumbili, lombok,  timun, labuh, kacang panjang, berbagai jenis pisang, keladi, yang kesemuanya itu menjadi makanan tambahan.

Sedangkan tanaman tahunan seperti karet, kemiri dan kayu manis ditanam pada areal yang terpisah dengan penanaman padi dan palawija.

Dan di tengah hamparan padi itu mereka juga menanam Kembang habang dan Kembang kuning (Celosia sp, famili Amaranthaceae)  yang nantinya menjadi syarat untuk berbagai acara adat seperti Besambu, Mahanyari, Aruh Ganal, Aruh Bawanang,  semuanya perlu Kembang itu, cerita Haris Mustari.

"Kembang habang dan Kembang kuning adalah kembang yang diizinkan oleh Dato Adam untuk dipakai dalam acara acara adat agama Kaharingan," ujar pak Imar, petani warga Dayak ketika berkisah di suatu malam di pehumaannnya di Gunung Nunungin.

Bulan ketiga dari penanaman, yaitu sekitar bulan Januari dilakukan penyiangan rumput dan gulma pengganggu tanaman padi. Penyiangan dilakukan  dengan cara mencabut atau memotong rumput dengan parang.

Bulan Februari, ketika padi berumur 3-4 bulan, mulai keluar buah atau malai dan ini disambut dengan suka cita oleh mereka, dianggap berkah dan harus disambut dengan ritual, layaknya menyambut kelahiran bayi yang sangat dinantikan.

Acara meyambut keluarnya buah padi disebut Besambu atau Sambu Uma, artinya menyambut keluarnya buah dan malai padi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com