Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Menugal", Kesahajaan Dayak Meratus dalam Bertani

Kompas.com - 07/08/2012, 12:53 WIB

Pada acara penutupan itu disajikan sesajian dan makanan berupa wajit, darah ayam kampung yang disimpan di tempurung, sagu, hanyangan, sumur Salaka (gelas berisi minuman warna coklat, dan hijau), sumur minyak, telur ayam kampung, belacu dan tumpi, menyan, karangan pandan, pisang,  minyak kelapa yang disebut sumur minyak, kandutan atau andungan yang disebut buta atau wadah keranjang terbuat dari anyaman bambu.

Balian dan tetua membaca mantra berupa kalimat-kalimat bertutur saling berbalas diantara tetua adat dan Balian, dan acara ini dilakukan selama kurang lebih 30 menit. Para anggota keluarga dan kerabat dekat menengadahkan tangan di depan Balian untuk menerima semacam "air berkah" dari karangan daun  pandan dan diusapkan secara berulang oleh Balian kepada anggota keluarga dan kerabat dekat tuan rumah, simbol keberkahan.

Memanen Padi

Setelah acara Mahanyari, padi dipanen semuanya. Berbeda halnya ketika menugal dan menanam padi yang dilakukan secara gotong royong, panen dilakukan sendiri oleh keluarga yang bersangkutan.

Orang Dayak menggunakan kumpai (bambu kecil bulat yang sisinya ditajamkan),  dan ranggaman (anai-anai) untuk memanen padi. Bagi Dayak Meratus, memanen padi lahan kering harus menggunakan kedua alat tradisional itu, kecuali padi sawah.

Penggunaan sabit dan mesin perontok gabah tidak diperbolehkan, dianggap pemali dan tabu, dan apabila pemali itu dilanggar, akan menyebabkan sakit.

Hari pertama  panen harus dilakukan oleh perempuan yang sudah berkeluarga, yaitu ibu rumah tangga dari keluarga itu. Hari kedua dan seterusnya perempuan gadis dapat membantu.   Keterlibatan laki-laki diperbolehkan mulai hari keempat dan seterusnya sampai panen selesai.

Perempuan yang sedang haid tidak diperbolehkan memanen padi, dan kondisi itu juga berlaku ketika menanam, perempuan yang sedang haid tidak diperkenankan menanam jenis tanaman apapun termasuk padi.

Padi yang telah dipanen kemudian dibawa ke pondok, dikeringkan lalu dirontokkan pakai kaki yaitu dengan cara diinjak injak dan digulung gulung sehingga gabah rontok dari malainya.

Selanjutnya gabah dikeringkan, lalu dimasukkan ke Lulung.   Lulung ini terbuat dari kulit kayu meranti putih berdiameter besar lebih 1 meter yang dikupas dibuat melingkar.

Selanjutnya lulung disimpan di lumbung padi yang disebut Lampau.  Agar gabah tidak diserang serangga perusak, mereka menggunakan bahan tradisional, yaitu daun tumbuhan sungkai (Veronema canescen) dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan lalu dicampurkan kedalam gabah yang disimpan pada lulung.

Dengan campuran daun sungkai itu, gabah tahan disimpan beberapa tahun, tidak dimakan dan dirusak serangga. Orang Dayak memiliki persediaan padi yang melimpah.  Beberapa keluarga Dayak bahkan memiliki persediaan padi yang disimpan 5-7 tahun yang lalu.

Padi yang baru dipanen setelah acara Mahanyari dan telah dimakan untuk pertama kali sebagi simbol bahwa hasil panen padi tahun ini telah dapat dinikmati, disimpan di lumbung, dan yang dikonsumsi sehari hari adalah padi yang dipanen beberapa tahun yang lalu.

Suatu pembelajaran mengenai sistem ketahanan pangan. Dayak memiliki ketahanan pangan yang tinggi, sehingga ucapan Pak Imar : "kami tidak memiliki banyak uang, tapi kami sugih banih/padi", adalah benar adanya.

Dayak Meratus sangat jarang menjual beras, lebih baik disimpan bertahun tahun, padi dianggap sakral. Namun demikian orang Dayak sangat ramah dan suka memberi beras, termasuk kami peserta ekspedisi, sering diberi beras oleh mereka ketika berada di kampung, terlebih ketika selesai menghadiri acara Mahanyari dan Aruh, pasti kami dibekali beras dan lamang, yang diberikan oleh orang Dayak dengan tulus.

"Kapan kembali ke Jakarta, saya akan membawakan beras Buyung, oleh-oleh dari kami" kata Rudinar dari kampung  Kiyu menawarkan kepada peserta ekspedisi. Beras adalah barang berharga, dan sangat layak sebagai oleh-oleh, apalagi beras Buyung yang sangat harum dan enak rasanya, demikian yang ada di benak Rudinar, pemuda yang telah menjadi pemandu untuk mendaki Gunung Halau Halau Meratus, dan menamani anggota Tim Ekspedisi menginap di Balai Adat kampung Kiyu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com