Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beras Mengalir, Sagu dan Ubi Tersingkir

Kompas.com - 25/06/2012, 03:31 WIB

Kondisi pangan lokal dan kerawanan pangan sangat erat hubungannya. Hal ini karena daya dukung agraris yang ada di Papua sangat minim. Baik infrastruktur penunjang pertanian seperti irigasi dan transportasi, kelembagaan pertanian, serta keterampilan mengolah lahan pertanian relatif masih belum berkembang. Belum lagi akses petani terhadap pasar masih banyak menghadapi kendala.

Jadi, tidak cukup hanya mengejar angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.000 kilo kalori per hari lalu harus dengan beras. Jika mayoritas masyarakat sangat tergantung terhadap beras, potensi kerawanan pangan menjadi lebih besar terutama di daerah pedalaman. Mudahnya mendapat beras karena penjatahan beras miskin di pedalaman lambat laun dapat mengurangi hasrat masyarakat untuk mengolah lahan pertanian atau mengonsumsi pangan lokal. Bila suatu saat stok pangan lokal berkurang dan suplai beras tersendat bukan tidak mungkin akan memicu kelaparan di daerah pelosok.

Agar terhindar dari bahaya kelaparan di masa mendatang, Papua harus kembali mengembangkan makanan lokal. Saat ini, diversifikasi pangan sudah mulai dilakukan sebagian masyarakat Papua. Salah satu indikasinya belum pernah terjadi gejolak harga beras karena kelangkaan pasokan barang.

”Selama saya bertugas di sini hampir tiga tahun, indeks kenaikan harga beras belum pernah mendominasi kontribusi inflasi bulanan. Hal ini dapat berarti suplai beras di masyarakat cukup atau masyarakat juga mengusahakan makanan pokok lain selain beras,” kata Tanda Sirait, Kepala BPS Provinsi Papua Barat.

Indikasi ini tentu menggembirakan bagi ketahanan pangan. Namun, hal itu masih sebatas dugaan yang dapat berarti sebaliknya. Bisa jadi, masyarakat sudah sangat nyaman dengan konsumsi dan suplai beras dari daerah lain. Kucuran beras untuk masyarakat miskin yang harganya sangat terjangkau meskipun jauh di daerah pedalaman, sangat membantu mereka. Akibatnya, harga tidak lagi menjadi persoalan selama suplainya lancar. Ini merupakan ujian besar bagi pengembangan pangan lokal.

Potensi untuk meningkatkan pangan lokal sebenarnya ada. Menurut Jurnal Litbang Pertanian (2003), luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 hektar, sedangkan kebun sagu yang sudah dikelola masyarakat mencapai 14.000 hektar. Bahkan, angkanya kemungkinan lebih besar seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Umbi dan Sagu Universitas Negeri Papua (Unipa), Manokwari.

”Survei di Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan, dalam satu hektar hutan sagu rata-rata terdapat 40 pohon sagu yang produktif. Satu pohon sagu paling sedikit menghasilkan 100 kilogram. Jadi, kalikan saja potensi luasan lahan dengan hasil produksinya,” tutur Rochani, dosen Fakultas Ekonomi Unipa yang turut serta dalam penelitian sagu.

Apabila mengacu pada penelitian Unipa, setidaknya produksi sagu di Papua bisa mencapai lebih dari 3,9 juta ton dari total area hutan dan kebun sagu. Angka sebesar itu sangat berlimpah untuk penguatan pangan lokal, setidaknya untuk selang-seling dengan makanan pokok lain. Namun, kenyataannya produksi sagu kini tidak lebih dari 1 persen dari total potensinya.

Jalan menuju budidaya sagu sebenarnya juga sudah terintis oleh pihak swasta. Buktinya, ada investor dari luar daerah sedang membangun pabrik sagu skala besar satu-satunya di Papua. ”Nanti pada bulan Agustus 2012 akan beroperasi pabrik Sagu PT Austrindo Nusantara Jaya di Kabupaten Sorong Selatan. Luasan area usaha sagu sekitar 40.000 hektar,” terang Runaweri F Hendrik, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat.

Sagu dapat dipanen setelah berumur 8-12 tahun. Tanaman ini hanya cukup ditanam sekali. Setelah 12 tahun pun dapat dipanen terus-menerus, tanpa perlu membuka lahan baru. Perawatannya pun sederhana, tanpa perlu pupuk dan pestisida lazimnya budidaya pertanian modern.

Lain sagu, lain ubi jalar. Meskipun tidak seterpuruk sagu, ubi jalar (Ipomoea batatas) yang merupakan makanan pokok asli Papua pun terancam menurun produksinya. Kondisinya menurun terutama di daerah yang jumlah warga pendatangnya lebih banyak. Di Provinsi Papua Barat yang persentase warga perantaunya hampir 50 persen, produksi ubi jalar rata-rata menurun 2.700 ton per tahun.

Berbeda dengan Provinsi Papua, produksi ubi manis di Papua Barat rata-rata masih naik sekitar 14.600 ton setahun. Meski demikian, naiknya produksi tersebut bukanlah prestasi karena di saat bersamaan kebutuhan konsumsi beras juga meningkat tajam yang mencapai 43 persen per tahun. Artinya, naiknya produksi ubi jalar tidak mereduksi laju konsumsi beras di masyarakat.

Inilah pekerjaan rumah pemerintah. Pemerintah perlu turun tangan membenahi pangan lokal ini. Jika tidak, sagu dan ubi akan ditinggalkan. Dan, makanan pokok penduduk Papua bukan lagi sagu, melainkan beras. (Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com