Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beras Mengalir, Sagu dan Ubi Tersingkir

Kompas.com - 25/06/2012, 03:31 WIB

Antonius Purwanto dan Budiawan Sidik

Sagu dan ubi-ubian bukan lagi makanan utama masyarakat Papua. Beras kini populer, bahkan hingga wilayah pedalaman. Jika tidak diantisipasi, ketahanan pangan bakal terancam. Terbentang tantangan bagi para pemangku kepentingan untuk menguatkan potensi pangan lokal Papua. 

Masyarakat di Tanah Papua—mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat—sedang mengalami proses perubahan, termasuk dalam makanan pokoknya. Makanan pokok mereka berupa sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan tergantikan ke beras yang notabene bukan makanan asli Papua.

Ironisnya, konsumsi beras yang terus meningkat ini belum bisa tercukupi dari produksi petani setempat. Akibatnya, ketergantungan suplai beras dari daerah lain semakin besar.

Konsumsi beras di Provinsi Papua Barat dan Papua rata-rata mencapai 132.000 ton per tahun. Dari besaran itu, sekitar 74 persen merupakan beras yang didatangkan dari luar daerah atau luar negeri. Kemampuan pasokan petani lokal masih sangat kecil, yakni hanya 26 persen per tahun. Itu pun umumnya dihasilkan oleh para petani pendatang. Mereka sebagian besar warga transmigran di Kabupaten Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Nabire, dan Merauke.

Ketergantungan terhadap beras lebih besar terutama terjadi di Provinsi Papua Barat. Bahkan, di wilayah ini beras sudah menjadi makanan pokok bukan hanya di perkotaan, melainkan kini sudah masuk ke penduduk pedalaman. Buktinya dapat dilihat pada hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS).

Data tahun 2010 menunjukkan, asupan kalori penduduk Papua Barat mayoritas (46 persen) berasal dari biji-bijian yang di dalamnya termasuk beras. Sebaliknya, makanan lokal yang berasal dari umbi-umbian ternyata asupan kalorinya hanya 9,65 persen. Sementara itu kondisi di Provinsi Papua konsumsi beras dan makanan lokal hampir berimbang. Asupan kalori biji-bijian dan umbi-umbian antara 28 persen dan 29 persen.

Semakin meningkatnya ketergantungan ini tidak lepas dari beberapa sebab. Salah satunya adalah meningkatnya pendatang yang mencari rezeki di tanah ini. Bahkan, di Papua Barat proporsi penduduk pendatang sudah mencapai 47 persen. Besarannya hampir berimbang dengan penduduk asli. Selain itu juga berubahnya pola makanan penduduk asli Papua. Beras sudah menjadi makanan pokok sehari-hari warga asli, terutama di perkotaan.

Meningkatnya konsumsi beras bagi kedua provinsi ini bukanlah sesuatu yang salah. Apalagi beras memiliki kandungan kalori jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sagu ataupun umbi-umbian. Namun, fenomena ini akan menjadi masalah tatkala tidak disertai dengan penguatan pangan lokal. Bila hal ini sampai terjadi, ketahanan pangan tanah Papua menjadi genting. Bahkan, lingkaran kemiskinan akan terus berputar.

Kecenderungan ini sudah mulai terasa di wilayah Pegunungan Papua. Angka ketergantungan kalori terhadap beras sangat tinggi, yakni sudah mencapai 80-90 persen. Artinya, ketahanan pangan di Papua sangat mengkhawatirkan di masa mendatang karena konsumsi beras di tingkat rumah tangga bertambah besar, sedangkan konsumsi pangan lokal cenderung menurun (Kiloner Wenda, 2012).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com