Ketika para ahli berkali- kali mengingatkan ancaman gempa di segmen subduksi (megathrust
”Di Sumatera gempa di luar subduksi amat jarang terjadi. Terakhir terjadi di lokasi itu tahun 2001,” kata Danny Hilman, ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Menurut Irwan Meilano dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, hampir semua gempa besar di Sumatera terjadi di zona subduksi. ”Gempa besar yang bersumber di sesar aktif di daratan Sumatera hanya sedikit, antara lain gempa Singkarak (2007) dan gempa Liwa (1994),” ujarnya.
Menurut Irwan, gempa Rabu lalu adalah jenis gempa yang lain dari jenis gempa yang selama ini menjadi obyek penelitian di Indonesia. ”Selama ini yang kami amati adalah gempa subduksi dan gempa pada sesar aktif karena keduanya bisa mudah diamati,” katanya.
Di Sumatera terdapat sesar aktif terbesar kedua setelah sesar San Andreas di Amerika. Sesar ini membelah Pulau Sumatera sepanjang 1.650 km dari Teluk Semangko hingga Aceh. Garis patahan itu muncul di Pulau Sumatera lewat Teluk Semangko dari kedalaman Selat Sunda.
Di sepanjang garis inilah, kulit bumi retak. Satu sisi dengan sisi lainnya bergerak horizontal. Lempeng bumi di bagian barat patahan Sumatera bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan 10 mm sampai 30 mm per tahun relatif terhadap bagian di sebelah timurnya. Pergerakan ini dipicu tumbukan antarlempeng di zona penunjaman.
Menurut catatan Danny, sejak tahun 1890, sudah terjadi sedikitnya 21 gempa besar di sepanjang Patahan ”Besar” Sumatera. Artinya, patahan berpotensi melepaskan satu hingga dua kali gempa besar tiap dekade.
Beberapa gempa besar terakhir di antaranya gempa berkekuatan 6,9 skala Richter di Liwa tahun 1994, gempa Kerinci berkekuatan 7 skala Richter tahun 1995, gempa Singkarak-Solok berkekuatan 6,4 skala Richter pada 6 Maret 2007, dan gempa Kerinci berkekuatan 7 skala Richter tahun 2009. Irwan menambahkan, periodisasi gempa di Sumatera mengacu kepada gempa-gempa di zona subduksi.