Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bajo "Bernapas" dalam Laut

Kompas.com - 07/04/2012, 17:29 WIB

Orang Bajo juga dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka biasa berkelana jauh selama berbulan-bulan, bahkan hingga melewati batas negara. Murdin (29), penduduk Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Wakatobi, misalnya. Dengan kapal motor berbobot mati 5 ton, ia menjelajahi perairan Nusantara hingga menyerempet wilayah Australia untuk memancing hiu.

Sebelum memakai kapal motor pada 2005, Murdin mengandalkan kapal layar tradisional lambo. Ganasnya ombak dan badai sudah lumrah baginya.

Pada 2006, Murdin sempat ditangkap polisi perairan Australia dan ditahan tiga bulan atas tuduhan memasuki wilayah negara itu. ”Saya tidak tahu sudah masuk batas Australia karena di laut tidak ada rambu-rambu,” ujar Murdin.

Antropolog Perancis, Francois-Robert Zacot, menyebutkan, orang Bajo membawa jejak-jejak perpindahan penduduk yang menghuni Asia Tenggara sekitar 2.000 tahun lalu (lihat buku Orang Bajo: Suku Pengembara Laut, 2008).

Nenek moyang orang Bajo terkenal sebagai pengembara laut yang hidup di rumah perahu beratap nipah bernama soppe. Nama Bajo merupakan sebutan yang diberikan orang luar kepada mereka. Orang Bajo menyebut diri mereka Sama dan orang di luar Bajo sebagai Bagai.

Ada beberapa versi soal asal-usul suku Bajo. Di antaranya terdapat dua argumen, yakni asal Bajo dari Kerajaan Johor di Malaysia dan Sulu di Filipina (lihat Adrian B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009).

Ketua Kerukunan Keluarga Bajo Indonesia Abdul Manan mengatakan, saat ini warga Bajo tersebar di 21 provinsi dengan populasi sekitar 11 juta jiwa. Terkait sejarah asal-usul, pihaknya menunggu hasil penelitian DNA yang dilakukan Universitas La Rochelle, Perancis.

”Kami sudah kumpulkan sampel DNA dari berbagai komunitas Bajo di Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk memastikan akar sejarah itu,” kata Manan yang juga menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Wakatobi.

Kini, komunitas Bajo, khususnya di Sulawesi Tenggara, hidup menetap di rumah panggung. Meski begitu, mereka tak melupakan laut. Hunian mereka didirikan di sepanjang pesisir atau menjorok ke laut dangkal. Desa Sama Bahari merupakan salah satu perkampungan ”terapung” Bajo yang terpisah 800 meter dari daratan.

Setiap rumah terhubung dengan jembatan kayu sebagai lalu lintas pejalan kaki. Sampan warga hilir mudik di sela-sela permukiman melalui kanal. Setiap rumah dilengkapi 2-3 sampan atau perahu. Aktivitas melaut 24 jam nonstop.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com