Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bajo "Bernapas" dalam Laut

Kompas.com - 07/04/2012, 17:29 WIB

Oleh Mohamad Final Daeng dan A Ponco Anggoro

Selama burung gagak masih berwarna hitam, selama itu pula orang Bajo berkecimpung dalam laut. Pepatah itu begitu kuat bagi suku Bajo, bagian dari masyarakat bahari yang meneguhkan ombak, angin, dan arus air laut sebagai denyut kehidupan. 

Tadi (50), penduduk Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, salah satu pelaku pepatah itu. Ia adalah penyelam pemburu ikan di perairan Pulau Kaledupa. Menyelam bermodalkan panah tradisional yang mirip senapan kayu sepanjang 2,5 meter merupakan salah satu teknik tradisional Bajo untuk mencari ikan. Pria setengah baya ini belajar menyelam sejak berusia 8 tahun.

Sejak dini, anak-anak suku Bajo sudah lekat dengan pengetahuan melaut. Kecakapan itu diwariskan turun-temurun.

”Dulu saya bisa menyelam sampai kedalaman 15-20 meter. Karena sekarang sudah tua, tak kuat lagi sampai sedalam itu,” kata Tadi, Senin (26/3).

Ia tidak menyelam dengan peralatan modern. Bekalnya hanya napas panjang dan sebuah kacamata selam buatan sendiri dari bahan kayu dengan kaca hasil potongan cermin lemari.

Setiap hari, Tadi mulai beraktivitas pukul 02.00. Ia mendayung sampan mencari lokasi ikan terbaik di perairan Kaledupa. Saat matahari terbit, lelaki yang seluruh rambutnya memutih itu mulai menjelajahi dasar laut.

Kebiasaan Tadi kini berlanjut ke Lauda (30), anak ketiganya. Sejak berusia 10 tahun, Lauda sudah diajak sang ayah ikut menyelam. Untuk memanah ikan, ia harus mencapai dasar laut. Di situ Lauda mencari batu karang.

”Saat ikan mendekat, mata panah ditembakkan,” kata Lauda. Tadi dan Lauda bisa mendapatkan 10-20 ikan berbagai jenis.

Pengelana

Orang Bajo juga dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka biasa berkelana jauh selama berbulan-bulan, bahkan hingga melewati batas negara. Murdin (29), penduduk Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Wakatobi, misalnya. Dengan kapal motor berbobot mati 5 ton, ia menjelajahi perairan Nusantara hingga menyerempet wilayah Australia untuk memancing hiu.

Sebelum memakai kapal motor pada 2005, Murdin mengandalkan kapal layar tradisional lambo. Ganasnya ombak dan badai sudah lumrah baginya.

Pada 2006, Murdin sempat ditangkap polisi perairan Australia dan ditahan tiga bulan atas tuduhan memasuki wilayah negara itu. ”Saya tidak tahu sudah masuk batas Australia karena di laut tidak ada rambu-rambu,” ujar Murdin.

Antropolog Perancis, Francois-Robert Zacot, menyebutkan, orang Bajo membawa jejak-jejak perpindahan penduduk yang menghuni Asia Tenggara sekitar 2.000 tahun lalu (lihat buku Orang Bajo: Suku Pengembara Laut, 2008).

Nenek moyang orang Bajo terkenal sebagai pengembara laut yang hidup di rumah perahu beratap nipah bernama soppe. Nama Bajo merupakan sebutan yang diberikan orang luar kepada mereka. Orang Bajo menyebut diri mereka Sama dan orang di luar Bajo sebagai Bagai.

Ada beberapa versi soal asal-usul suku Bajo. Di antaranya terdapat dua argumen, yakni asal Bajo dari Kerajaan Johor di Malaysia dan Sulu di Filipina (lihat Adrian B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009).

Ketua Kerukunan Keluarga Bajo Indonesia Abdul Manan mengatakan, saat ini warga Bajo tersebar di 21 provinsi dengan populasi sekitar 11 juta jiwa. Terkait sejarah asal-usul, pihaknya menunggu hasil penelitian DNA yang dilakukan Universitas La Rochelle, Perancis.

”Kami sudah kumpulkan sampel DNA dari berbagai komunitas Bajo di Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk memastikan akar sejarah itu,” kata Manan yang juga menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Wakatobi.

Kini, komunitas Bajo, khususnya di Sulawesi Tenggara, hidup menetap di rumah panggung. Meski begitu, mereka tak melupakan laut. Hunian mereka didirikan di sepanjang pesisir atau menjorok ke laut dangkal. Desa Sama Bahari merupakan salah satu perkampungan ”terapung” Bajo yang terpisah 800 meter dari daratan.

Setiap rumah terhubung dengan jembatan kayu sebagai lalu lintas pejalan kaki. Sampan warga hilir mudik di sela-sela permukiman melalui kanal. Setiap rumah dilengkapi 2-3 sampan atau perahu. Aktivitas melaut 24 jam nonstop.

Kepala Desa Sama Bahari Suhaele mengatakan, warganya ”enggan” membangun rumah di darat karena banyak tradisi dan ritual hidup yang harus dilakukan di laut. Sejak dulu, setiap bayi orang Bajo harus dicelupkan ke laut untuk mengakrabkan mereka dengan laut yang dianggap sebagai saudara.

Sadar, tokoh muda yang mendokumentasikan tradisi dan adat istiadat Bajo, mengatakan, orang Bajo memiliki pengetahuan tradisional membaca arus, ombak, suhu air, angin, letak karang, dan kedalaman yang baik untuk menangkap ikan. Mereka juga mengenal ilmu perbintangan yang digunakan sebagai pedoman waktu dan arah yang tepat untuk melaut.

Sayangnya, Bajo kini tertinggal dalam pendidikan. Angka putus sekolah di Wakatobi, khususnya tingkat SMP, mencapai 31 persen. Separuhnya merupakan anak-anak Bajo.

Banyak anak Bajo selepas SD tidak melanjutkan sekolah karena memilih mencari nafkah di laut. Untuk itu tengah digagas model pendidikan alternatif yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat Bajo.

Zaman boleh berubah, tetapi Bajo tetap ”bernapas” dalam laut dengan segala tantangannya....

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com