Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tergerusnya Kewaspadaan di Gunung Guntur

Kompas.com - 21/03/2012, 06:28 WIB

Oleh Luhur Fajar Martha dan Yuliana Rini DY

KOMPAS.com - Kontestasi makna berkah dan bencana selalu beriringan menghidupi masyarakat sekitar gunung api, termasuk di sekitar Gunung Guntur, Kabupaten Garut. Masyarakat setempat berkeyakinan bahwa kemungkinan Gunung Guntur meletus sangat kecil.

Rasionalitas ekonomi tampaknya telah mengikis tingkat kewaspadaan mereka terhadap ancaman bencana letusan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Tiadanya pengalaman langsung menghadapi letusan gunung api membuat masyarakat merasa aman tinggal di kawasan rawan bencana tingkat dua Gunung Guntur. Mereka meyakini, Gunung tak akan merusak kehidupan masyarakat yang turun- temurun mendiami kawasan itu.

Tahun ini, Gunung Guntur sudah 165 tahun tidak meletus. Tidak ada seorang pun yang pernah merasakan kedahsyatan gunung setinggi 2.249 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini. Ditambah nyaris punahnya cerita turun-temurun, letusan yang abunya pernah terbang sejauh 250 km mencapai Jakarta kini terdengar seperti legenda.

Bagi masyarakat setempat, Guntur terus ”memberi” berkah yang terwujud dalam kesuburan tanah sepanjang tahun dan air yang berlimpah. Padi, palawija, dan hortikultura menjadi komoditas utama yang hasilnya menghidupi sebagian besar warga. Sumber air panas alamiah di ketinggian sekitar 900 mdpl di kawasan Cipanas menjadikannya sebagai salah satu lokasi wisata utama di Kabupaten Garut.

Agus (56), warga yang sejak lahir tinggal di salah satu desa di kawasan rawan bencana, mengaku, satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan hanya bertani. Hasil yang diperoleh dirasakan cukup untuk menghidupi istri dan tiga anak mereka. Demikian pula, Dani (34) dan keluarganya. Usaha warung makan mereka bergantung pada kegiatan wisata di Cipanas. ”Kalau di sini ramai (pengunjung), sate dan sop kambing kami juga laris,” ujarnya.

Mereka meyakini, masa ”tenang” Gunung Guntur yang lebih dari satu setengah abad itu akan tetap terjaga. Karena itu, berpindah ke daerah lain bukan pilihan menarik dari sisi ekonomi. Keterbatasan akses informasi dan keterampilan membuat mereka yakin tak akan menjadi lebih sejahtera di tempat baru.

Kondisi itu membuat kawasan seluas 20 kilometer persegi yang terbagi jadi lima desa ini menjadi semakin padat. Tahun lalu, tercatat 12.000 keluarga mendiami kawasan ini. Padahal, tiga tahun sebelumnya masih 10.000 keluarga. Pertambahan yang tergolong pesat itu membuat kawasan rawan bencana Gunung Guntur menjadi salah satu wilayah terpadat di Garut.

Informasi mitigasi minim

Keputusan untuk tetap tinggal di area yang tergolong sangat dekat dengan Guntur tidak mengherankan. Sebagai makhluk rasional, orang selalu berupaya memaksimalkan tujuan dengan mempertimbangkan risiko yang ada. Tujuan ekonomi salah satunya. Semakin banyak informasi, semakin baik penilaian seseorang terhadap risiko.

Yang jadi persoalan, informasi mengenai tingkat kerawanan bencana Guntur yang diperoleh masyarakat terbilang sedikit. Sebagian dari mereka bahkan tidak tahu kalau tempat tinggalnya berisiko terkena dampak langsung jika gunung yang berjarak kurang dari 5 km ini meletus. Padahal, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menerbitkan peta kawasan rawan bencana Gunung Guntur sejak sembilan tahun lalu.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com