Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nelayan Bangka Kian Menderita

Kompas.com - 26/02/2012, 08:22 WIB
Irene Sarwindaningrum

Penulis

SUNGAILIAT, KOMPAS.com - Kehidupan para nelayan di pantai-pantai timur Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, makin sulit sejak tambang-tambang timah apung dan kapal isap beroperasi di kawasan pantai tersebut.

Pendapatan mereka turun drastis karena tangkapan berkurang sedangkan biaya operasional membengkak karena mereka harus melaut semakin jauh. Kondisi ini dipicu oleh kerusakan di pesisir yang diduga karena limbah buangan kapal-kapal isap dan tambang-tambang apung tersebut.

Nelayan dari Desa Teluk Uber, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Rosihan (48) menuturkan, pendapatan para nelayan di daerah itu turun hingga tinggal 30 persen selama beberapa tahun terakhir. Biasanya, mereka mampu memperoleh tangkapan rata-rata 7 kilogram (Kg) hingga 10 Kg ikan, namun kini hanya rata-rata 4 Kg ikan.     

"Beberapa kali kami malah rugi karena hasil tangkapan tak menutup modal untuk beli bensin dan bekal melaut," katanya di Pantai Tanjung Pesona, Kecamatan Sungailiat, Minggu (26/2/2012).

Para nelayan di daerah itu juga harus melaut lebih jauh untuk memperoleh tangkapan sehingga biaya perjalanan melaut kian membengkak. Sekitar tujuh tahun lalu, nelayan cukup melaut hingga 3-4 mil untuk mendapat tangkapan melimpah.

Namun kini mereka harus jauh ke tengah hingga 10 mil dengan tangkapan jauh lebih sedikit. Bensin yang dikeluarkan untuk melaut kini sekitar lima liter dari dulunya cukup tiga liter untuk sekali melaut.     

Menurut Rosihan, kawasan pesisir pantai timur Bangka saat ini kian keruh karena limbah buangan kapal-kapal isap dan tambang-tambang timah apung yang banyak beroperasi sekitar 1-2 mil di pesisir pantai itu. Akibatnya, ikan-ikan semakin menjauh ke tengah lautan.

Sejumlah komoditas laut pun kini semakin langka bahkan menghilang karena terumbu karang yang menjadi rumah mereka mati oleh timbunan limbah buangan tambang timah apung dan kapal isap. Penderitaan ini telah mereka rasakan sejak setidaknya tiga tahun terakhir.

Seperti terlihat, limbah berupa lumpur dan pasir itu terus-menerus disemburkan kapal isap dan tambang apung sehingga terumbu karang rusak. Padahal, terumbu karang tersebut merupakan rumah sejumlah biota laut dan tempat ikan bertelur.

Rusaknya terumbu karang ini diduga membuat ikan-ikan semakin ke tengah laut dan sejumlah komoditas laut menghilang. "Pihak tambang timah hanya memberi kompensasi Rp 300.000 tiap tiga bulan pada kami. Uang sejumlah itu buat apa? Tak menutup hilangnya pendapatan kami," kata Rosihan.     

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com