Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Pertambangan Kabupaten Buru Jusdi Latuconsina yang dihubungi dari Ambon, Maluku, Jumat (3/2), mengatakan, para pendulang itu datang dari Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Mereka datang secara bergelombang ke Pulau Buru dengan menggunakan kapal laut.
”Tidak hanya pendulang, pembeli atau pengepul emas dari sejumlah daerah pun berdatangan. Diperkirakan, ada sekitar 10.000 orang di sana,” kata Jusdi, yang baru kembali dari Pulau Buru. Wansait berjarak sekitar 40 kilometer dari Namlea, ibu kota Kabupaten Buru.
Yanto (40), warga Waeapo, menambahkan, pendulang dari luar Pulau Buru bergabung dengan ribuan warga setempat yang memilih beralih profesi setelah emas ditemukan. ”Petani, tukang ojek, bahkan sampai guru beralih profesi menjadi pendulang emas sekarang,” katanya lagi.
Mereka tergiur pendapatan dari mendulang emas. Tiap orang bisa mendapatkan emas berkisar 3 gram sampai 3 kilogram, dijual seharga Rp 370.000 per gram.
”Emas hasil dulangan tidak sulit dijual karena pengepul dari luar, seperti Ambon dan Sulawesi, juga berdatangan ke Wansait,” ujarnya.
Menurut Yanto, semula pencarian emas hanya pada tanah di permukaan. Namun, kini mulai digali terowongan hingga kedalaman sampai 14 meter.
Menurut Jusdi, penambangan emas secara tradisional itu membahayakan, termasuk bagi lingkungan. ”Pekan lalu, tiga orang tertimbun longsoran saat mendulang, untungnya mereka masih bisa diselamatkan. Namun, mereka tetap menambang emas di sana,” katanya menambahkan.
Pendulangan emas secara tradisional dilakukan dengan menggunakan bahan kimia. Pohon pun ditebang.
”Pemerintah sudah berupaya melarang penambangan itu mengingat bahaya yang mungkin terjadi, tetapi larangan tidak mereka gubris,” katanya. Rencananya, pemerintah akan kembali rapat dengan aparat keamanan dan tokoh masyarakat setempat untuk membahas nasib penambangan emas Wansait.