Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Desa Hayati" Penjaga Kelestarian DAS Muria

Kompas.com - 03/02/2012, 03:07 WIB

A Hendriyo Widi

Masyarakat sejumlah desa di lereng Pegunungan Muria di wilayah Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara, Jawa Tengah, kerap disalahkan setiap kali terjadi banjir di hilir. Seperti pada Februari 2008 yang merupakan sejarah bencana banjir terburuk di Kabupaten Kudus dan Pati.

Banjir merendam jalan pantai utara atau pantura di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, setinggi 30-75 sentimeter sehingga arus lalu lintas macet dan baru pulih dua minggu kemudian. Banjir pada tahun itu menyebabkan pula ribuan rumah, ratusan hektar (ha) tambak bandeng dan udang, serta ribuan hektar sawah di Pati dan Kudus tergenang.

Di Pati, banjir disebabkan luapan Sungai Juwana dan anak-anak sungainya. Adapun di Kudus, banjir diakibatkan jebolnya tanggul Sungai Wulan di delapan titik. Kedua sungai besar itu berhulu di Pegunungan Muria dan Pegunungan Kendeng Utara.

”Setiap kali banjir, semua orang bilang hutan di gunung gundul karena pohon- pohon ditebang dan lahan hutan dijadikan lahan pertanian oleh orang gunung,” kata Surani, Kepala Desa Jrahi, Kecamatan Gunungwungkal, Kabupaten Pati.

Hal itu memang benar. Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Muria mencatat, lahan kritis di Pegunungan Muria di Kudus, Pati, dan Jepara seluas 26.433 ha. Di Kudus seluas 5.358 ha, Pati 6.075 ha, dan Jepara 15.000 ha. Sebagian besar lahan kritis tersebut berupa lahan pertanian terbuka yang hanya ditanami tanaman semusim.

Meskipun demikian, sekelompok masyarakat di sejumlah desa di lereng Pegunungan Muria tidak ingin disalahkan lagi. Secara swadaya dan swadana, mereka berupaya mengelola ”desa hayati” sesuai dengan kondisi wilayah.

Upaya itu terlihat ketika Forum DAS Muria dan Balai Pengelolaan DAS Pemali-Jratun menjelajah tujuh desa di area sub-DAS mikro Pegunungan Muria di tiga kabupaten. Sejumlah kelompok masyarakat di desa-desa itu berupaya merehabilitasi kawasan hutan yang rusak pada zaman penjarahan tahun 1998 dan lahan pertanian terbuka.

Mereka menerapkan pertanian berbasis agro forestry atau tumpangsari wanatani dan diversifikasi usaha pertanian. Untuk tanaman tegakan, mereka menanam jati, sengon, dan mahoni di hutan rakyat, lahan pertanian terbuka, bantaran sungai, daerah sekitar sumber mata air, dan lahan gundul. Adapun untuk tanaman penunjang ekonomi, mereka membudidayakan kopi, kakao, kepulaga, bambu, dan jeruk pamelo.

Desa Menawan, Kudus, sekelompok petani menanam 2.500 pohon jati merah di bantaran Sungai Gelis di lahan seluas 1,5 ha pada tahun 2009. Di bawah tegakan pohon itu ditanami padi atau jagung sesuai musim.

Di Desa Jrahi, Kecamatan Gunungwungkal, Pati, masyarakat membudidayakan pring petung atau bambu berbatang besar secara swadana. Bambu itu ditanam hampir di seluruh lereng Sungai Jagatan yang masuk dalam DAS Tayu.

Pitono (35), sekretaris Kelompok Tani Makmur, Desa Jrahi, mengatakan, bambu petung berfungsi untuk menahan erosi tanah lereng sungai dan melindungi rumah-rumah warga yang berada di atas lereng sungai. Bambu itu juga menggeliatkan ekonomi masyarakat.

Setiap membutuhkan tambahan uang, warga memanen bung atau bambu muda setinggi 40-100 sentimeter (cm). Pada musim kemarau harganya menembus Rp 40.000 per potong dan pada musim hujan harganya Rp 7.000-Rp 10.000 per potong.

Adapun di Desa Tempur, Jepara, kelompok tani menanam kopi. Kepala Desa Tempur Sutoyo mengatakan, kopi yang dibudidayakan sebanyak 348.447 batang. Sebanyak 294.635 batang mampu menghasilkan biji kopi rata-rata 700 ton per tahun, dengan total pendapatan Rp 8,4 miliar.

”Meskipun belum diresmikan sebagai desa model pelestarian, sejumlah desa itu telah menerapkan konsep desa hayati menurut cara dan karakteristik daerah mereka, karena telah memulihkan sebagian lahan kritis dan sejumlah mata air,” kata Ketua Forum DAS Muria, Hendy Hendro.

Hendro menambahkan, ke depan, desa-desa itu akan menjadi pionir desa model pelestarian DAS Mikro (MDM). MDM itu berada di lereng Pegunungan Muria yang mengampu sub-DAS Srep, Sani, Gungwedi, Mayong, dan DAS Gelis, serta DAS Tayu.

Setelah ketujuh desa pionir itu matang dan berhasil, desa-desa lain yang berada di wilayah MDM itu akan dikembangkan pula menjadi desa hayati. Namun, selama proses pengembangan desa hayati nanti, Forum DAS Muria berharap desa-desa tetangga desa model dapat meniru.

”Memang untuk saat ini belum begitu efektif karena banjir dan sedimentasi sungai masih tetap terjadi. Namun, ke depan, desa hayati diharapkan menjamur di Pegunungan Muria,” kata Hendy.

Setiap tahun, banjir selalu menghantui Kudus dan Pati, baik dalam skala besar seperti pada tahun 2008 maupun dalam skala kecil. Banjir dalam skala kecil selalu menyebabkan sekitar 1.000 ha lahan pertanian di sejumlah desa tidak terurus karena berubah menjadi rawa sehingga hanya bisa ditanami pada musim kemarau.

Sungai-sungai penyebab banjir itu masuk wilayah DAS di Pegunungan Muria dan Kendeng Utara. Pegunungan Muria berada di utara Kudus dan Pati, sedangkan Pegunungan Kendeng Utara berada di Selatan Kudus-Pati.

Dalam peta Jawa Dwipa yang menggambarkan Jawa pada zaman purba (Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung, 1930), Jawa Tengah bagian timur terbagi menjadi kawasan Pegunungan Muria dan Nusa Kendeng. Kedua pegunungan itu dipisahkan Selat Muria, yang endapan dan rawa-rawanya kini menjadi Kudus dan Pati. Proses pengendapan terjadi mulai abad XVI.

Kawasan-kawasan itu dialiri sejumlah sungai besar, seperti Sungai Juwana di Pati serta Sungai Wulan, Babalan, Logung, Jeratun, Piji, Gelis, Praholo, dan Ngembal di Kudus. Dari kesemua sungai itu yang merupakan sungai purba adalah Sungai Juwana, Babalan, dan Jeratun (keduanya disebut Bengawan Juana), dan Sungai Wulan (Kali Tanggulangin).

Sekarang ini, kondisi sungai-sungai utama tersebut sangat memprihatinkan karena semakin menyempit dan mendangkal. Normalisasi Sungai Juwana yang dilakukan sejak tahun 2009 hingga sekarang pun belum mampu mengatasi banjir sehingga perlu penanganan dari hulu hingga hilir.

”Kami mendorong agar Forum DAS Muria menetapkan dan mendampingi desa-desa model tersebut secara intensif sehingga dapat menjadi percontohan desa-desa lain yang mengampu sub-DAS dan DAS di Pegunungan Muria,” kata Kepala Seksi Kelembagaan Balai Pengelolaan DAS Pemali-Jratun Hadiyati Utami.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com