Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menempa Diri ke Gunung Rinjani

Kompas.com - 09/01/2012, 23:47 WIB

Di hening Gunung Rinjani, menurut Purnipa, manusia bisa lebih mendekatkan diri kepada alam. ”Di sini kami belajar mendengar suara alam. Kami mendengar dan menghargai suara rumput dan semut, dan akhirnya menyadari banyak yang hidup selain kita manusia,” katanya.

Rinjani ibarat gunung suci bagi masyarakat adat Sasak yang tecermin dari posisi penting gunung ini dalam siklus hidup mulai dari kelahiran, sunatan, pernikahan, pengobatan, hingga kematian.

Masyarakat adat Sasak percaya arwah orang meninggal akan bersemayam di Gunung Rinjani, berkumpul dengan leluhur yang telah mendahuluinya. Di awal upacara gawe pati atau ritual kematian, pemangku adat meminta izin arwah leluhur di Gunung Rinjani agar orang yang baru meninggal itu bisa diterima di antara mereka.

Sasak dan Rinjani

Keterikatan warga Sasak terhadap Rinjani juga tecermin dalam arsitektur rumah. Di kampung adat Senaru, misalnya, semua rumah menghadap ke arah Gunung Rinjani. Atap ilalang juga merupakan bentuk hormat kepada Gunung Rinjani dan para penghuninya. Masyarakat asli Sasak hanya menggunakan ilalang yang tumbuh di padang rumput sebagai atap rumah mereka. Sirap, tanaman penyimpan air yang tumbuh di hutan Rinjani, tabu digunakan.

Sirap, yang diyakini menjadi tempat tinggal roh pembantu Dewi Anjani, hanya boleh digunakan untuk bangunan suci. Salah satunya adalah Masjid Beliq Bayan di kampung adat Bayan.

Di rumah pemuka adat, biasanya terpampang ukiran kayu yang mengisahkan tentang seorang lelaki dan perempuan yang duduk bersila ditemani naga dan tokek. Naga bermahkota menyimbolkan makhluk penunggu Gunung Rinjani. Adapun tokek dan bintang menyimbolkan acara pembacaan lontar suci harus dilakukan pada malam hari.

Tidak hanya itu, ada beberapa naskah lontar yang menunjukkan kedekatan manusia Sasak dengan Gunung Rinjani. Misalnya, naskah lontar ”Bangbaris” yang menceritakan perjalanan Raden Irman ke puncak gunung yang diyakini sebagai Gunung Rinjani.

”Banjur tama ngaro ke kebon kembang, pitu macem ulesnya. Mun mili tama harus engkeang aturan tata tertib si lebih bagusnya,” salah seorang pembaca lontar dari kampung adat Senaru, Sukreti, membacakan naskah lontar yang kurang lebih isinya menceritakan keindahan dan kesakralan puncak Rinjani. ”Izin penunggu Rinjani harus dilakukan bagi semua yang mengunjungi Rinjani,” kata Sukreti.

Lebih dari sekadar simbol, menurut Purnipa, pendakian ke Gunung Rinjani juga bagian dari prosesi menempa diri. Daya tahan, kesabaran, dan niat baik diuji dalam pendakian. Selama pendakian, Purnipa juga mengajarkan kesederhanaan. Anak-anak muda itu tidur berselimut terpal dalam cuaca dingin. Mereka minum air danau dan makan sederhana selama berhari-hari.

Ikuti perkembangan Ekpedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui facebook: ekspedisikompas atau twitter: @ekspedisikompas

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com