Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Air Mata di "Negeri" Gajah

Kompas.com - 30/11/2011, 15:50 WIB

Pada waktu itu anggaran untuk setiap gajah mencapai Rp 50.000 per hari, sementara kebutuhannya mencapai Rp 150.000.


Pemerintah semula berkeyakinan, dengan menangkap dan menjinakkan gajah-gajah liar, konflik manusia dan gajah akan meredup. Kenyataannya tidak seperti yang mereka harapkan. Konflik terus meningkat. Berdasarkan pendataan terbaru, 400 kasus konflik terjadi antara manusia dan gajah di tahun 2009, berujung pada kerusakan tanaman atau penghalauan gajah. Frekuensi konflik menjadi sekitar 500 kasus pada 2010, dan 785 kasus pada 2011. Luas kebun yang rusak terinjak gajah pada 2010 mencapai lebih dari 174 hektar.

”Gajah itu cerdas. Kalau mengetahui ada ruang jelajah yang kosong, mereka akan mengisinya. Tak heran bila konflik akan terus terjadi pada jalur yang telah berubah menjadi kebun masyarakat,” ujar Sukatmoko.

Pemerintah pun menyadari kesalahan perlakuan terhadap gajah di Way Kambas. Sejak 2000, penangkapan gajah liar dihentikan. Sementara gajah jinak yang telanjur berpopulasi besar itu, didistribusikan ke sejumlah kebun binatang dan Taman Safari untuk mengurangi beban keuangan pemerintah pusat. Yang tersisa di PLG Way Kambas kini tinggal 65 ekor.

Saat menyusuri arena PLG Way Kambas, kami menyaksikan gajah-gajah termangu dengan leher terikat dan kaki terbelenggu rantai besar. Sebagian gajah kerap menarik-narik rantai dengan belalainya.

Salah seorang mahout, Mahfud, mengatakan, gajah yang tersisa di PLG cenderung dilatih menjadi pemain sirkus. Mereka belajar mengangkat kaki, bermain hulahop, melempar bola, dan memasang topi. Mereka disabet gancu jika tidak patuh kepada pelatih. Sebaliknya, mendapat hadiah pisang jika menuruti instruksi. ”Metode ini sesuai standar dari Thailand,” kenang Mahfud mengenai trik melatih gajah.

Kini, selain menjadi obyek sirkus bagi wisatawan yang ramai pada Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, gajah-gajah ini nyaris menganggur sepanjang waktu, selain mandi dan makan.

Rutinitas ini sungguh berkebalikan dengan ritme alami gajah. Mamalia yang memiliki empati tinggi ini adalah binatang nokturnal alias aktif di malam hari, dan beristirahat pada siang hari. Tubuh gajah tak didesain untuk menahan teriknya siang.

Menjalani hidup secara terbalik, merupakan beban bagi gajah. Analoginya adalah manusia yang harus bekerja sepanjang malam dan baru boleh tidur siang hari. Ritme ini akan memengaruhi banyak hal, termasuk menurunkan selera makan, metabolisme, dan mental gajah.

Salah seorang petugas polisi kehutanan, Tumino, mengungkapkan, gajah jinak sering kali kalah nyali berhadapan dengan rombongan gajah liar. Penghalauan pun tidak bisa mengandalkan gajah jinak di malam hari. ”Pawang justru terancam menjadi korban jika penghalauan dengan menggunakan gajah jinak berlangsung pada malam hari,” ujarnya.

Karena begitu kuatnya pengaruh manusia, sejumlah gajah di PLG Way Kambas masuk ke dalam industri hiburan. Salah seekor anak gajah bernama Pepi (5), telah lima kali menjadi bintang layar kaca dan terlatih bersahabat dengan manusia.

Karena itu, mayoritas gajah ini tidak bisa bertahan jika dilepas kembali ke habitat asli. ”Mereka memang tidak disiapkan untuk kembali ke alam. Gajah kami didik untuk bekerja sama dengan manusia,” tutur Munif (36), mahout lainnya yang telah melatih gajah selama 14 tahun terakhir.

Pengalaman ini menunjukkan kekeliruan manusia untuk hidup berdampingan dengan gajah. Biarkanlah gajah dan satwa liar lainnya hidup tanpa gangguan dalam habitatnya sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com