Antony Lee
Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, tempat Nanang tinggal, adalah salah satu sentra utama komoditas manggis (Garcinia mangostana
”Pohon yang saya rawat, misalnya, dulu ditanam mertua. Bahkan, ada yang ditanam kakek mertua saya,” tutur Nanang dalam perbincangan di Kampung Cengal, awal Agustus lalu.
Nanang menetap di Cengal sejak menikah dengan Heni, tahun 2003. Ia ditugasi mertuanya merawat pohon manggis di lahan seluas 6,8 hektar. Jumlah pohon manggis 2.090 batang, tetapi baru sekitar 1.000 batang yang berproduksi.
Ia tergerak berbuat sesuatu bagi warga sekitar ketika melihat tengkulak membeli manggis petani dengan harga murah, Rp 150-Rp 200 per buah. Bahkan, manggis tanaman mertuanya pernah hanya dihargai Rp 75 per buah.
Petani sulit lepas dari tengkulak karena mereka tak punya akses pasar. Selain itu, transportasi umum menuju kampung itu juga terbilang minim.
Dari jalan utama penghubung Leuwiliang-Cibungbulang-Dramaga-Kota Bogor, orang harus menempuh 5-7 kilometer jika hendak ke kampung itu. Sementara dari jalan utama itu menuju Kota Bogor berjarak 20-25 km. Jalur tersebut juga padat lalu lintas sehingga untuk menempuh jarak itu orang perlu waktu 1-1,5 jam dengan mobil.
Upaya lepas dari tengkulak mulai membuahkan hasil ketika pada 2004 Nanang berkenalan dengan pedagang asal Tasikmalaya. Pedagang itu bersedia membeli manggis Rp 7.000 per kilogram (kg). Satu kg terdiri dari 10-12 manggis atau per manggis dihargai Rp 500-Rp 700. Harga itu lebih bagus ketimbang tawaran tengkulak.