Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senja Kala Lumbung Ikan Citarum

Kompas.com - 02/05/2011, 15:33 WIB

Teknologi KJA tergolong baru dan menguntungkan. Oleh karena itu, usaha yang awalnya direkomendasikan bagi warga yang terdampak pembangunan waduk ini menjadi incaran investor kakap. Dengan modal besar mereka membangun puluhan hingga ratusan unit KJA. Jumlahnya kemudian berlipatganda hingga melampaui ambang batas yang direkomendasikan oleh instansi mana pun.

Pesatnya perkembangan jumlah KJA, ditambah pencemaran dan sedimentasi dari hulu Citarum, membuat daya dukung perairan terus menurun. Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) mencatat, akumulasi sejumlah masalah itu membuat usaha budidaya ikan KJA melesu dalam 13 tahun terakhir, khususnya di Waduk Saguling dan Cirata.

Ketua GPMT, Denny Indradjaja, menyebutkan, permintaan pakan ikan dari pembudidaya di Waduk Saguling anjlok dari sekitar 4.000 ton per bulan tahun 1997 menjadi 100 ton per bulan tahun 2010. Kondisi serupa terjadi di Waduk Cirata yang anjlok dari 12.000 ton per bulan tahun 1999-2002 menjadi 4.000 ton per bulan tahun 2010.

Menurut Denny, karena sudah tidak menguntungkan, sebagian pembudidaya ikan KJA di Saguling dan Cirata memilih memindahkan jaring apungnya ke Waduk Ir H Djuanda yang kondisi airnya dinilai lebih baik. Konsumsi pakan di Waduk Ir H Djuanda pun meningkat dari 1.500 ton per bulan sebelum tahun 2005 menjadi 4.000 ton per bulan tahun 2010.

Meredup

Sejumlah pembudidaya meyakini usaha KJA di Citarum sudah melalui masa kejayaannya. Usaha ini bahkan menghadapi ancaman kehancuran karena mutu air kian tidak memenuhi syarat baku perikanan. Pemantauan PT Pembangkitan Jawa Bali selama triwulan I hingga IV tahun 2009, misalnya, menemukan bahwa air tidak memenuhi baku mutu untuk air minum dan perikanan, antara lain karena kandungan hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), oksigen terlarut (DO), seng (Zn), kuprum/tembaga (Cu), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) yang melebihi ambang. Beberapa parameter juga ditemukan melebihi ambang baku mutu air untuk air minum dan perikanan di Waduk Ir H Djuanda, terutama H2S, NH3, dan Zn.

Tingginya kadar H2S mengganggu usaha perikanan karena meningkatkan risiko kematian ikan budidaya akibat anjloknya kandungan oksigen.

Menurut Kepala Biro Perikanan Budidaya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat, Muhamad Husen, butuh langkah revolusioner untuk mengatasi kompleksnya persoalan perikanan di DAS Citarum. Upaya ini harus melibatkan seluruh pihak terkait karena persoalan timbul dari beragam sektor, seperti perikanan, peternakan, pertanian, perindustrian, dan lingkungan hidup.

Hery Gunawan, Sekretaris Dinas Perikanan Jawa Barat menambahkan, beberapa upaya ditempuh untuk memperbaiki mutu air waduk, antara lain dengan menebar ikan pemakan plankton, membatasi jumlah KJA dengan tidak menerbitkan izin baru, dan menjaga kebersihan perairan dengan melarang penggunaan styrofoam untuk pembuatan kolam. Pihaknya juga menyinergikan kerja pemangku kepentingan perikanan antarkabupaten, terutama Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta.

Akan tetapi, saat rencana dan program masih direncanakan atau menunggu hasil, Obin dan ribuan pembudidaya sudah terlanjur jatuh dalam lubang kebangkrutan. Sebagian bekerja dengan cemas dalam ”keremangan senja” perikanan Citarum.(Mukhamad Kurniawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com