Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senja Kala Lumbung Ikan Citarum

Kompas.com - 02/05/2011, 15:33 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Puluhan ribu keramba di atas aliran Citarum adalah lumbung ikan air tawar nasional. Namun, keberadaannya kian rapuh oleh pencemaran, sedimentasi, dan serangan virus bertubi-tubi. Bagi sebagian pelaku, era kejayaan perikanan Citarum telah berlalu, bahkan menjadi masa lalu.

Empat bersaudara Nukman (44), Misbah (41), Obin (36), dan Iwan (25) merasakan betul kemunduran itu. Mewarisi 20 petak keramba jaring apung (KJA) dari orang tua di perairan Waduk Saguling di Desa Rancapanggung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, kakak beradik ini mampu berdikari sejak tahun 1997.

Obin, misalnya, sanggup membangun sendiri lima petak KJA pertamanya. Dari hasil panen ikan mas, nila, dan patin, dia bisa menyisihkan uang untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menambah jumlah kolam. Demikian pula dengan kakak dan adiknya.

”Baru 3-4 tahun merasakan nikmatnya membudidaya, masalah datang silih berganti, ikan mati secara massal berulang setiap kali tebar. Akibat sering rugi, tahun 2003 saya berhenti,” kata Obin.

Kasus kematian ikan rupanya kian sering terjadi. Selain akibat serangan virus, ikan mati karena kandungan oksigen terlarut anjlok. Arus juga sering mengaduk endapan dasar waduk sehingga menambah risiko kematian ikan. Usaha KJA di Saguling pun meredup.

Ridwan (44), pemasok pakan ikan di kawasan itu mengaku tergoncang karena permintaan pakan terus menurun seiring meredupnya usaha budidaya ikan KJA. Jika tahun 1996 dia masih memasok lebih dari 200 ton pakan per bulan, kini rata-rata permintaan kurang dari 50 ton per bulan. ”Belasan pengecer pakan sudah tidak berjualan lagi karena rugi,” ujarnya.

Kemunduran juga dialami oleh pelaku usaha serupa di Waduk Cirata. Asep Sulaeman (37), pembudidaya di perairan Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat menambahkan, karena mutu air terus menurun, pembudidaya mengurangi kepadatan tebar benih dari 50-75 kg per kolam menjadi 30 kg per kolam. Pada bulan tertentu, terutama puncak musim hujan, mereka mengosongkan kolam untuk menghindari risiko rugi akibat kematian ikan secara massal.

Lumbung ikan

Jawa Barat merupakan produsen utama ikan budidaya, khususnya pada subsektor jaring apung. Data Badan Pusat Statistik tahun 2005-2008, produksi Jabar selalu mendominasi produksi nasional. Tahun 2006, misalnya, produksi ikan dari jaring apung Jabar mencapai 80,9 persen dari total produksi nasional 143.252 ton. Tahun 2008 mencapai 144.560 ton atau 54,9 persen dari total produksi nasional yang 263.169 ton.

Keberadaan puluhan ribu KJA di Waduk Saguling, Cirata, dan Ir H Djuanda, yang membendung aliran Sungai Citarum, menyumbang produksi tersebut. Sejak diuji coba tahun 1974 dan dibudidayakan tahun 1988 di Waduk Ir Djuanda, pola budidaya KJA terus berkembang ke Saguling dan Cirata. Jumlah KJA di tiga waduk terus meningkat dan diperkirakan mencapai lebih dari 70.000 unit.

Teknologi KJA tergolong baru dan menguntungkan. Oleh karena itu, usaha yang awalnya direkomendasikan bagi warga yang terdampak pembangunan waduk ini menjadi incaran investor kakap. Dengan modal besar mereka membangun puluhan hingga ratusan unit KJA. Jumlahnya kemudian berlipatganda hingga melampaui ambang batas yang direkomendasikan oleh instansi mana pun.

Pesatnya perkembangan jumlah KJA, ditambah pencemaran dan sedimentasi dari hulu Citarum, membuat daya dukung perairan terus menurun. Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) mencatat, akumulasi sejumlah masalah itu membuat usaha budidaya ikan KJA melesu dalam 13 tahun terakhir, khususnya di Waduk Saguling dan Cirata.

Ketua GPMT, Denny Indradjaja, menyebutkan, permintaan pakan ikan dari pembudidaya di Waduk Saguling anjlok dari sekitar 4.000 ton per bulan tahun 1997 menjadi 100 ton per bulan tahun 2010. Kondisi serupa terjadi di Waduk Cirata yang anjlok dari 12.000 ton per bulan tahun 1999-2002 menjadi 4.000 ton per bulan tahun 2010.

Menurut Denny, karena sudah tidak menguntungkan, sebagian pembudidaya ikan KJA di Saguling dan Cirata memilih memindahkan jaring apungnya ke Waduk Ir H Djuanda yang kondisi airnya dinilai lebih baik. Konsumsi pakan di Waduk Ir H Djuanda pun meningkat dari 1.500 ton per bulan sebelum tahun 2005 menjadi 4.000 ton per bulan tahun 2010.

Meredup

Sejumlah pembudidaya meyakini usaha KJA di Citarum sudah melalui masa kejayaannya. Usaha ini bahkan menghadapi ancaman kehancuran karena mutu air kian tidak memenuhi syarat baku perikanan. Pemantauan PT Pembangkitan Jawa Bali selama triwulan I hingga IV tahun 2009, misalnya, menemukan bahwa air tidak memenuhi baku mutu untuk air minum dan perikanan, antara lain karena kandungan hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), oksigen terlarut (DO), seng (Zn), kuprum/tembaga (Cu), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) yang melebihi ambang. Beberapa parameter juga ditemukan melebihi ambang baku mutu air untuk air minum dan perikanan di Waduk Ir H Djuanda, terutama H2S, NH3, dan Zn.

Tingginya kadar H2S mengganggu usaha perikanan karena meningkatkan risiko kematian ikan budidaya akibat anjloknya kandungan oksigen.

Menurut Kepala Biro Perikanan Budidaya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat, Muhamad Husen, butuh langkah revolusioner untuk mengatasi kompleksnya persoalan perikanan di DAS Citarum. Upaya ini harus melibatkan seluruh pihak terkait karena persoalan timbul dari beragam sektor, seperti perikanan, peternakan, pertanian, perindustrian, dan lingkungan hidup.

Hery Gunawan, Sekretaris Dinas Perikanan Jawa Barat menambahkan, beberapa upaya ditempuh untuk memperbaiki mutu air waduk, antara lain dengan menebar ikan pemakan plankton, membatasi jumlah KJA dengan tidak menerbitkan izin baru, dan menjaga kebersihan perairan dengan melarang penggunaan styrofoam untuk pembuatan kolam. Pihaknya juga menyinergikan kerja pemangku kepentingan perikanan antarkabupaten, terutama Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta.

Akan tetapi, saat rencana dan program masih direncanakan atau menunggu hasil, Obin dan ribuan pembudidaya sudah terlanjur jatuh dalam lubang kebangkrutan. Sebagian bekerja dengan cemas dalam ”keremangan senja” perikanan Citarum.(Mukhamad Kurniawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com