Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Bandung Lupa Sungai

Kompas.com - 01/05/2011, 14:15 WIB

Pabrik aneka industri di Kabupaten Cimahi dan Bandung tidak hanya memerah-kuning-hijaukan Sungai Cikendal, anak Sungai Citarum yang membelah Cigondewah Kaler. Industrialisasi yang dimulai sejak akhir tahun 1970-an itu juga menyediakan peluang usaha baru.

Cigondewah Kaler yang dulu kampung jawara, ”Jago Bobok - Jago Tarok”, kini dikenal sebagai kampung ”Kuya-Kumis”. Kuya-Kumis itu satir kehidupan Cigondewah Kaler, pelesetan kata ”kumuh kaya” dan ”kumuh miskin” yang hidup dengan menampung aneka sampah pabrik.

Plastik dilebur ulang menjadi bijih, sisa kain pabrik tekstil menjadi keset perca, karung bekas dicuci, kardus bekas dipilah, makanan kedaluwarsa disulap menjadi pakan ternak. Segala sampah pabrik menjadi pundi-pundi uang di Cigondewah.

Di kelurahan seluas 140 hektar itu ada 1.687 usaha kecil dan menengah, 432 usaha perdagangan, 65 warung, dan toko. Dari 16.000 penduduknya, hanya 278 orang yang menjadi petani. Jika 30 tahun lalu 90 persen lahan di Cigondewah Kaler adalah sawah, luasan sawah tersisa kurang dari 16 hektar.

”Puncaknya pertumbuhan ekonomi Cigondewah Kaler terjadi sebelum krisis moneter 1997. Mobil mewah itu barang biasa di Cigondewah. Saya kerap mencicipi rasanya menyetir mobil keluaran terbaru, diajak warga menjajal mobil baru mereka,” tutur Lurah Cigondewah Kaler Maulana Fatahudin.

Arif (24) dan adiknya, Ujang (23), bekerja di penimbunan plastik orangtuanya. Setiap hari mereka membakar hingga 200 kilogram sampah plastik menjadi gumpalan plastik yang lantas dicacahnya menjadi bijih plastik siap daur ulang. ”Untuk membakar plastik, kami memakai plastik tidak lolos sortir,” kata Arif. Setiap bulan, bapak satu anak itu menerima upah Rp 1,1 juta hingga Rp 1,7 juta.

Kemenakan dan tetangga mereka, Yusuf (13) dan Nanan (13), mulai ”magang” bisnis sampah dengan menjadi buruh cuci plastik. ”Saya tidak melanjutkan sekolah ke SMP, lebih baik bekerja daripada sekolah,” kata Yusuf sembari menjejalkan segunung plastik bening yang telah dicucinya di Sungai Cicukang ke dalam karung goni.

Yusuf dan teman-temannya adalah saksi bagaimana belajar mengurus sampah lebih menjanjikan masa depan ketimbang sekolah. Separuh warga Cigondewah Kaler tidak pernah bersekolah, atau tidak lulus SD, seperempat lainnya hanya ”Sarjana Dasar”. Tak ada SMP dan SMA di Cigondewah Kaler.

Beberapa tahun mendatang, Yusuf akan menikahi gadis Cigondewah. ”Sangat jarang terjadi orang Cigondewah menikahi orang luar Cigondewah. Urbanisasi ke Cigondewah hampir tidak ada, jadi akulturasi jarang terjadi. Mereka yang ’kuya’ orang asli Cigondewah, yang ’kumis’ juga asli Cigondewah. Industrialisasi memberikan segala peluangnya, tetapi kualitas hidup masyarakat kami tidak lebih baik,” ujar Usep Yudha Prawira, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Cigondewah Kaler.

Perubahan hidup

Cigondewah Kaler hanya potret kecil perubahan hidup permukiman di Daerah Aliran Sungai Citarum dan anak-anak sungainya yang dikepung pabrik. ”Ada yang menjadi kantong urbanisasi, ada pula yang menjadi gudang pengusaha seperti Cigondewah,” kata antropolog Universitas Padjajaran, Budi Rajab.

Bukan sungai yang tercemar yang memaksa warga bersalin jalan hidup. Namun, daya pikat peluang yang dimunculkan industrialisasilah yang mengubah mereka.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com