Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Eceng Gondok Penuhi Citarum

Kompas.com - 27/04/2011, 11:59 WIB

Pencemaran dan sedimentasi merupakan masalah utama Citarum, sungai sepanjang 269 kilometer yang mengalir dari hulunya, Situ Cisanti, Gunung Wayang Bandung Selatan hingga Pantai Merdeka Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Menurut data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat di daerah aliran sungai (DAS) Citarum tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria mutu air baik untuk minum maupun kegiatan perikanan/pertanian.

Pencemaran air sungai disebabkan oleh banyaknya air limbah yang masuk ke dalam sungai yang berasal dari berbagai sumber pencemaran yaitu dari limbah industri, domestik, rumah sakit, peternakan, pertanian dan sebagainya.

Dari data kualitas air yang diukur, kondisi Sungai Citarum sudah masuk ke tingkat pencemaran berat. Banyak parameter kunci yang sudah melebihi baku mutu, baik dari limbah organik hingga kandungan logam berat. Sekitar 40 persen limbah Sungai Citarum, merupakan limbah organic dan rumah tangga. Sisanya merupakan limbah kimia atau industri dan limbah peternakan serta pertanian.

Citarum juga dirundung sedemintasi yang tinggi dan diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik pertahun. Sedimentasi dan erosi sudah berlangsung sejak hulunya yakni di Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung.

Tokoh masyarakat dulu Citarum Dede Jauhari mengamati, semua itu akibat alih fungsi lahan dari yang seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air, menjadi daerah pertanian semusim seperti sayuran. Sebagian besar budi daya tanaman berusia pendek itu dilakukan tanpa mengikuti kaidah-kaidah konservasi, sehingga menimbulkan erosi yang sangat tinggi terhadap sungai.

Di Kertasari menurut camat Asep Ruswandi, terdapat 15.000 hektar lahan, 3.000 hektar di antaranya milik warga. Hampir 70.000 jiwa warga Kertasari adalah petani yang mengelolahan lahan hingga ke hutan berkemiringan di atas 30 persen. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengimbau warga bahwa lahan itu adalah lahan negara,” ujarnya.

Padahal air Citarum digunakan untuk tiga PLTA yakni Saguling (700-1.400 Megawatt), Cirata (1.008 MW) dan Jatiluhur (187 MW). Menurut data Citarum Fact Sheet, Cita-Citarum, dari tiga PLTA menghasilkan energi setara bahan bakar minyak sebanyak 16 Juta ton/tahun. Namun sekitar 4 juta meter kubik lumpur masuk ke waduk Saguling. Kemudian, rata-rata tahunan sampah yang disaring oleh Unit Bisnis Pembangkit Saguling mencapai 250.000 meter kubik tahun.

Terus turun

Sedimentasi kemudian masuk ke Waduk Cirata di hilir Saguling. “Penelitian tahun 2007 sedimentasi di Cirata 7,41 juta meter kubik per tahun, sebelumnya hanya 5,5 juta meter kubik,” ujar Asisten Analis Hidrologi dan Sedimentas (BPWC) Tuarso. Berdasarkan perhitungan BPWC, dengan sedimentasi setinggi itu waduk yang didesain berusia 100 tahun itu akan berkurang 20 tahun. Danau yang menghasilkan daya listrik 1.008 megawatt untuk interkoneksi Jawa-Bali itu beroperasi sejak 1987.

Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah mewacanakan mengeruk waduk untuk memperpanjang umur teknis/ekonomis waduk sekaligus mendukung perikanan waduk. Namun ongkos mengeruk waduk itu sekitar Rp 40.000 per kubik. Jadi kalau 7 juta kubik berarti 7.000.000 x 40.0000 = Rp 280 miliar pertahun.

Kemudian muncul masalah baru, lumpur yang sudah dikeruk akan disimpan dimana. Sebab sedimen ini kurang ekonomis dijadikan bahan kompos sebab 60 persennya lumpur.

Akhirnya wacana pengerukan terus mengalir ke laut dan sedimentasi waduk itu terus berlangsung tanpa ada pengendalian. Ironis, karena seiring dengan lajunya pencemaran dan sedimentasi, derajat kehidupan puluhan juta manusia yang hidup di DAS Citarum juga terus turun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com