Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Eceng Gondok Penuhi Citarum

Kompas.com - 27/04/2011, 11:59 WIB

 

BANDUNG, KOMPAS.com — Anda butuh eceng gondok? Datanglah ke Sungai Citarum, tepatnya hulu Waduk Cirata Desa Margaluyu Kecamatan Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Tanaman air itu memenuhi sekitar satu kilometer sungai yang di kawasan ini lebarnya sekitar 300 meteran.

Tanaman yang menjadi indikator tercemarnya air sungai itu benar-benar merepotkan Ma’mun (50), tukang perahu yang sehari-hari bertugas menyeberangkan penduduk. Sebab sungai purba Citarum di titik ini merupakan jalur lalu lintas warga Margaluyu, Bandung Barat bertahun-tahun menuju Desa Kertamukti Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur.

“Kalau pagi, kami harus menyingkirkan eceng gondok agar perahu bisa melaju. Tidak jarang, anak sekolah kesiangan karena perahu lambat tiba di seberang sungai,” ujar bapak beranak tiga yang secara turun temurun menjadi pabelah (tukang menyeberangkan perahu).

Dari pada malu kesiangan, biasanya anak-anak pelajar itu tidak sampai ke sekolah. Mereka hanya berkumpul sambil menunggu jam pulang sekolah. Tukang perahu dan tukang ojek di sana maklum adanya, karena untuk menyingkirkan eceng gondok yang padat bisa sampai setengah meter itu bukan perkara gampang. Padahal pihak sekolah sudah memberi subsidi transportasi ke pabelah Rp 3 juta per tahun.

Setiap hari Ma’mun menyeberangkan 100-150 orang warga dari desa di dua kabupaten yang terpisah oleh sungai terpanjang dan terbesar di Jabar itu. Sebanyak 40 orang di antaranya anak sekolah SMP dan SMA. Jalur itu merupakan jalan pintas anak sekolah, dari Bandung ke Cianjur. Jika lewat jalan darat harus melingkar sejah 20 kilometer karena harus melewati jembatan tol Citarum di jalan negara Jakarta-Bandung.

Kalau lewat Citarum, jaraknya kurang dari setengahnya dan waktu tempuh pun relatif lebih cepat. “Dari dulu desa kami terisolasi sehingga Sungai Citarum menjadi jalur lalu lintas warga,” ujar Asep Sulaeman, warga Desa Margaluyu.

Sebelum Waduk Cirata dibangun, warga desa ini lebih memilih pergi ke Cianjur lewat Citarum untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Sebab menuju kota Kecamatan Cipeundeuy, walaupun jaraknya hanya 20 kilometer, jalannya turun naik lewat pegunungan dan perkebunan karet yang sering rusak.

Kondisi itu hampir tidak pernah berubah hingga kini sehingga Sungai Citarum tetap menjadi lintas utama warga di kedua kabupaten itu. Dulu, penyeberangan ini menggunakan tambang yang dikerek secara manual. Setelah Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata beroperasi, keluarga Ma’mun menggantinya dengan perahu kayu bermesin Honda 5,5 PK.

Keluarga Ma’mun menyediakan dua perahu untuk penyeberangan itu yang harganya masing-masing Rp 8 juta. Perahu kayu itu mampu bertahan rata-rata 2 tahun. Ongkos Bandung-Cianjur ini hanya Rp 5.000 umum dan Rp 3.000 anak sekolah. “Tidak jarang pula mereka hanya bayar dengan, hatur nuhun. Tapi saya tidak apa-apa, itung-itung amal ibadah,” ujar Ma’mun. Pendapatannya sehari dari pukul 05.00-19.00 berkisar antara Rp 100-150 ribu.

Dirundung masalah

Pencemaran dan sedimentasi merupakan masalah utama Citarum, sungai sepanjang 269 kilometer yang mengalir dari hulunya, Situ Cisanti, Gunung Wayang Bandung Selatan hingga Pantai Merdeka Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Menurut data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat di daerah aliran sungai (DAS) Citarum tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria mutu air baik untuk minum maupun kegiatan perikanan/pertanian.

Pencemaran air sungai disebabkan oleh banyaknya air limbah yang masuk ke dalam sungai yang berasal dari berbagai sumber pencemaran yaitu dari limbah industri, domestik, rumah sakit, peternakan, pertanian dan sebagainya.

Dari data kualitas air yang diukur, kondisi Sungai Citarum sudah masuk ke tingkat pencemaran berat. Banyak parameter kunci yang sudah melebihi baku mutu, baik dari limbah organik hingga kandungan logam berat. Sekitar 40 persen limbah Sungai Citarum, merupakan limbah organic dan rumah tangga. Sisanya merupakan limbah kimia atau industri dan limbah peternakan serta pertanian.

Citarum juga dirundung sedemintasi yang tinggi dan diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik pertahun. Sedimentasi dan erosi sudah berlangsung sejak hulunya yakni di Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung.

Tokoh masyarakat dulu Citarum Dede Jauhari mengamati, semua itu akibat alih fungsi lahan dari yang seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air, menjadi daerah pertanian semusim seperti sayuran. Sebagian besar budi daya tanaman berusia pendek itu dilakukan tanpa mengikuti kaidah-kaidah konservasi, sehingga menimbulkan erosi yang sangat tinggi terhadap sungai.

Di Kertasari menurut camat Asep Ruswandi, terdapat 15.000 hektar lahan, 3.000 hektar di antaranya milik warga. Hampir 70.000 jiwa warga Kertasari adalah petani yang mengelolahan lahan hingga ke hutan berkemiringan di atas 30 persen. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengimbau warga bahwa lahan itu adalah lahan negara,” ujarnya.

Padahal air Citarum digunakan untuk tiga PLTA yakni Saguling (700-1.400 Megawatt), Cirata (1.008 MW) dan Jatiluhur (187 MW). Menurut data Citarum Fact Sheet, Cita-Citarum, dari tiga PLTA menghasilkan energi setara bahan bakar minyak sebanyak 16 Juta ton/tahun. Namun sekitar 4 juta meter kubik lumpur masuk ke waduk Saguling. Kemudian, rata-rata tahunan sampah yang disaring oleh Unit Bisnis Pembangkit Saguling mencapai 250.000 meter kubik tahun.

Terus turun

Sedimentasi kemudian masuk ke Waduk Cirata di hilir Saguling. “Penelitian tahun 2007 sedimentasi di Cirata 7,41 juta meter kubik per tahun, sebelumnya hanya 5,5 juta meter kubik,” ujar Asisten Analis Hidrologi dan Sedimentas (BPWC) Tuarso. Berdasarkan perhitungan BPWC, dengan sedimentasi setinggi itu waduk yang didesain berusia 100 tahun itu akan berkurang 20 tahun. Danau yang menghasilkan daya listrik 1.008 megawatt untuk interkoneksi Jawa-Bali itu beroperasi sejak 1987.

Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah mewacanakan mengeruk waduk untuk memperpanjang umur teknis/ekonomis waduk sekaligus mendukung perikanan waduk. Namun ongkos mengeruk waduk itu sekitar Rp 40.000 per kubik. Jadi kalau 7 juta kubik berarti 7.000.000 x 40.0000 = Rp 280 miliar pertahun.

Kemudian muncul masalah baru, lumpur yang sudah dikeruk akan disimpan dimana. Sebab sedimen ini kurang ekonomis dijadikan bahan kompos sebab 60 persennya lumpur.

Akhirnya wacana pengerukan terus mengalir ke laut dan sedimentasi waduk itu terus berlangsung tanpa ada pengendalian. Ironis, karena seiring dengan lajunya pencemaran dan sedimentasi, derajat kehidupan puluhan juta manusia yang hidup di DAS Citarum juga terus turun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com