Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sayur yang Tak Lagi Menyehatkan Petani

Kompas.com - 26/04/2011, 11:30 WIB

Eman Sulaeman (42), petani di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, menuturkan permintaan dari pedagang di Pasar Induk Cibitung (Bekasi), Caringin (Bandung), Kramat Jati (Jakarta), dan sejumlah pasar lain di Depok, Tangerang, Bogor, serta Cirebon sedang menurun. Itu terjadi karena sayuran dari sentra pertanian lain banyak juga yang masuk pasar.

Petani tentu merugi dengan keadaan ini. Eman menggambarkan, hasil panen wortel dari satu patok lahan (sekitar 625 meter persegi) mencapai empat kuintal. Dengan ongkos produksi wortel rata-rata Rp 400.000 dan harga jual Rp 700 per kilogram, petani merugi Rp 120.000 dari setiap patok garapannya. “Untuk musim tanam berikutnya saya berencana berhutang sekitar Rp 20 juta dari saudara saya,” ucap Eman.

Masa keemasan

Selain dianggap menyehatkan tubuh, sayur-mayur bagi petani di Kecamatan Kertasari pada akhir dekade 1990-an juga “menyehatkan” ekonomi keluarga. Saking menggiurkannya, petani padi berbondong-bondong beralih menanam sayur.

Enjang Rahman (54) adalah salah seorang petani sayur yang dulunya menanam padi sejak 1985. “Hasil padi saya tidak banyak karena lahannya sempit. Melihat banyak tetangga yang mulai menanam sayur, akhirnya saya ikutan juga,” kata Enjang yang memilih menanam daun bawang.

Saat musim panen tiba, Enjang memanen dua ton daun bawang dari sekitar 1.000 meter persegi lahannya. Saat itu, ia mengenang harga jual daun bawang mencapai Rp 2.500 per kilogram dengan modal yang dibutuhkan “hanya” Rp 500.000 untuk beli pupuk dan bibit. Ia pun untung sampai Rp 5 juta, jumlah yang dinilai Enjang lebih dari lumayan pada masa itu.

Selain modalnya lebih kecil dibandingkan pertanian padi, waktu panen sayuran relatif lebih cepat. Daun bawang dan wortel, misalnya, hanya butuh waktu 30-50 hari untuk panen. Bandingkan dengan padi yang butuh waktu sampai 3,5 bulan. Kondisi tanah di DAS Citarum juga dianggap sangat cocok untuk bertanam sayuran.

Enjang mengisahkan, dekade 1990-an menjadi masa keemasan petani sayuran. Sebabnya, pedagang di Jakarta mengutamakan pasokan sayuran dari wilayah Bandung karena dianggap paling dekat jaraknya. “Setiap musim panen, sepeda motor baru banyak yang berseliweran. Istri-istri petani juga memenuhi toko emas untuk belanja,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pedagang Komoditas Agro (APKA) Jawa Barat, Yoke Yusuf mengatakan, anjloknya harga sayur ketika panen raya tiba sebenarnya bisa disiasati dengan mengatur pola dan jenis komoditas tanam di antara masing-masing sentra sayur. “Kalau di Garut sedang tanam wortel, petani di Pangalengan jangan menanam wortel juga. Namun hal ini butuh campur tangan pemerintah,” kata Yoke.

Dampak ekologi

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com