Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sayur yang Tak Lagi Menyehatkan Petani

Kompas.com - 26/04/2011, 11:30 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Keheningan di Situ Cisanti, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang merupakan sumber dari Sungai Citarum, sungguh bertolak belakang dengan hiruk-pikuk kampung di sekitarnya. Nyaris sepanjang 24 jam aktivitas pertanian sayur-mayur tak berhenti. Dari kampung inilah, kebutuhan sayur-mayur untuk Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta dipenuhi.

Dari balik kaca mobil yang terpaksa melaju pelan karena jalan aspal yang sudah bolong di sana-sini, terlihat lereng-lereng Gunung Wayang dipenuhi beraneka ragam sayuran seperti daun bawang, wortel, tomat, dan kol. Kegiatan pertanian berbagi tempat dengan peternakan sapi perah di kecamatan berpenduduk sekitar 66.000 jiwa ini.

Kesibukan masih terasa hingga menjelang malam sekitar pukul 19.00. Iyep Taryana (43), masih mengawasi keenam anak buahnya mencuci wortel di Kampung Pajaten yang akan ia bawa ke Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta. Dalam satu hari, rata-rata ia mengangkut enam ton wortel yang ia beli dari petani.

“Biasanya pencucian wortel ini baru selesai sekitar jam 12.00 malam, kemudian langsung kami angkut ke pasar. Keesokan paginya, sudah ada lagi petani yang menyetorkan wortelnya kepada kami, begitu seterusnya,” ujar Iyep yang memiliki tempat pencucian wortel sendiri sejak empat tahun lalu.

Meski seolah tanpa jeda sepanjang hari, hasil pertanian sayur-mayur tidak selalu menggembirakan bagi petani, maupun bagi pedagang. Iyep, misalnya, mengaku masih bisa mencicip untung Rp 100 per kilogram dari wortel yang ia “setor” kepada pedagang di Jakarta, Tangerang, dan Bandung.

Nasib lebih buruk justru menimpa para petaninya. Harga jual sayur-mayur cenderung tidak stabil. Pada masa panen di akhir Maret lalu, misalnya, harga jual sayur mencapai titik yang sepertinya tidak masuk akal. Harga daun bawang tidak lebih dari Rp 500 per kilogram. Harga wortel juga tidak sampai Rp 1.000 per kilogram. Bahkan kol hanya dihargai Rp 200 per kilogram.

Idin (33), petani daun bawang di Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, mengatakan hanya mampu menjual hasil cocok tanamnya seharga Rp 500 per kilogram. “Paling mahal Rp 600 per kilogram. Padahal dua minggu lalu harganya masih Rp 1.500 per kilogram. Harga itu jauh dari ongkos produksi yang mencapai Rp 2.500 per kilogram,” keluh Idin.

Anjlok

Sejumlah petani menuturkan, penurunan harga jual komoditas daun bawang sudah mulai sejak pertengahan Februari. Pada awal Januari, harga jualnya disebutkan masih sekitar Rp 5.000 per kilogram. Hingga pertengahan Maret, harganya terus merosot mencapai 80 persen.

Komoditas wortel pun mengalami nasib yang sama. Pada akhir Februari, harga jualnya masih mencapai Rp 2.500 per kilogram. Tetapi akhir Maret lalu, sayuran yang sarat vitamin A ini cuma dihargai paling bagus Rp 800 per kilogram. Petani menduga penurunan harga jual terjadi akibat musim panen yang berlangsung serentak di sejumlah sentra pertanian sayur di Jawa Barat seperti di Kertasari, Pangalengan, dan Lembang.

Eman Sulaeman (42), petani di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, menuturkan permintaan dari pedagang di Pasar Induk Cibitung (Bekasi), Caringin (Bandung), Kramat Jati (Jakarta), dan sejumlah pasar lain di Depok, Tangerang, Bogor, serta Cirebon sedang menurun. Itu terjadi karena sayuran dari sentra pertanian lain banyak juga yang masuk pasar.

Petani tentu merugi dengan keadaan ini. Eman menggambarkan, hasil panen wortel dari satu patok lahan (sekitar 625 meter persegi) mencapai empat kuintal. Dengan ongkos produksi wortel rata-rata Rp 400.000 dan harga jual Rp 700 per kilogram, petani merugi Rp 120.000 dari setiap patok garapannya. “Untuk musim tanam berikutnya saya berencana berhutang sekitar Rp 20 juta dari saudara saya,” ucap Eman.

Masa keemasan

Selain dianggap menyehatkan tubuh, sayur-mayur bagi petani di Kecamatan Kertasari pada akhir dekade 1990-an juga “menyehatkan” ekonomi keluarga. Saking menggiurkannya, petani padi berbondong-bondong beralih menanam sayur.

Enjang Rahman (54) adalah salah seorang petani sayur yang dulunya menanam padi sejak 1985. “Hasil padi saya tidak banyak karena lahannya sempit. Melihat banyak tetangga yang mulai menanam sayur, akhirnya saya ikutan juga,” kata Enjang yang memilih menanam daun bawang.

Saat musim panen tiba, Enjang memanen dua ton daun bawang dari sekitar 1.000 meter persegi lahannya. Saat itu, ia mengenang harga jual daun bawang mencapai Rp 2.500 per kilogram dengan modal yang dibutuhkan “hanya” Rp 500.000 untuk beli pupuk dan bibit. Ia pun untung sampai Rp 5 juta, jumlah yang dinilai Enjang lebih dari lumayan pada masa itu.

Selain modalnya lebih kecil dibandingkan pertanian padi, waktu panen sayuran relatif lebih cepat. Daun bawang dan wortel, misalnya, hanya butuh waktu 30-50 hari untuk panen. Bandingkan dengan padi yang butuh waktu sampai 3,5 bulan. Kondisi tanah di DAS Citarum juga dianggap sangat cocok untuk bertanam sayuran.

Enjang mengisahkan, dekade 1990-an menjadi masa keemasan petani sayuran. Sebabnya, pedagang di Jakarta mengutamakan pasokan sayuran dari wilayah Bandung karena dianggap paling dekat jaraknya. “Setiap musim panen, sepeda motor baru banyak yang berseliweran. Istri-istri petani juga memenuhi toko emas untuk belanja,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pedagang Komoditas Agro (APKA) Jawa Barat, Yoke Yusuf mengatakan, anjloknya harga sayur ketika panen raya tiba sebenarnya bisa disiasati dengan mengatur pola dan jenis komoditas tanam di antara masing-masing sentra sayur. “Kalau di Garut sedang tanam wortel, petani di Pangalengan jangan menanam wortel juga. Namun hal ini butuh campur tangan pemerintah,” kata Yoke.

Dampak ekologi

Di sisi lain, pertanian sayur di hulu Sungai Citarum yang tidak mengindahkan kaidah ekologis ini berdampak buruk bagi kelestarian sungai. Gerusan tanah pertanian akibat aliran air hujan di lereng Gunung Wayang ini menciptakan sedimentasi di dasar sungai. Pendangkalan sungai akibat sedimentasi itu menyebabkan banjir yang sering terjadi di kawasan Baleendah dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.

Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, frekuensi banjir di DAS Citarum yang menunjukan tren peningkatan, salah satunya disebabkan oleh menurunnya tingkat infiltrasi dan retensi akibat kerusakan hutan dan erosi. Lebih jauh lagi, endapan yang terbawa sampai ke Waduk Saguling bisa mengurangi usia produktif bendungan yang menghasilkan listrik untuk kebutuhan Jawa dan Bali ini.

Permasalahan dampak ekologi akibat pertanian ini belum menemukan solusi yang tepat. Seperti diungkapkan oleh Agus Derajat, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Tarumajaya, masyarakat Tarumajaya masih mengandalkan komoditas sayuran karena musim panennya yang relatif cepat.

“Belum ada komoditas pengganti sayuran yang menawarkan keuntungan yang cepat seperti itu. Penanaman kopi yang sedang kami lakukan juga tidak terlalu diminati karena panennya baru terjadi dua tahun sejak ditanam,” kata Agus. (Gregorius M Finesso/Mukhamad Kurniawan/Didit Putra ER)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com