Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Risiko Harga Minyak

Kompas.com - 26/02/2011, 03:28 WIB

Implikasi bagi perekonomian nasional, khususnya APBN yang hingga saat ini masih mematok angka 80 dollar AS per barrel sebagai asumsi makro, adalah bahwa akan (kembali) terjadi penambahan defisit.

Simulasi ReforMiner Institute menghitung, setiap harga minyak 1 dollar AS per barrel di atas asumsi, ceteris paribus, subsidi energi (BBM dan listrik) akan bertambah sekitar Rp 3,4 triliun, sedangkan penerimaan migas hanya akan bertambah sekitar Rp 2,6 triliun. Dengan demikian, akan terjadi penambangan defisit APBN sekitar Rp 0,8 triliun untuk setiap harga minyak 1 dollar AS per barrel di atas asumsi.

Artinya, jika harga minyak rata-rata ada di kisaran 90–95 dollar AS per barrel sepanjang tahun dan asumsi yang digunakan masih tetap 80 dollar AS per barrel, tambahan defisit APBN yang akan terjadi, ceteris paribus, mencapai Rp 8–Rp 12 triliun.

Dalam hubungan dengan rencana pembatasan bensin premium yang sedianya akan diterapkan April 2011 nanti, kecenderungan harga yang tetap akan bertahan di kisaran tinggi akan membuat kebijakan itu menjadi makin tidak efektif. Harga pertamax dan setaranya tetap akan berada di kisaran Rp 7.900–Rp 8.500 per liter sehingga perbedaan harganya dengan bensin premium tetap akan signifikan, Rp 3.600–Rp 4.000 per liter.

Dengan perbedaan harga sebesar itu, hampir dapat dipastikan akan terjadi distorsi berupa pasar gelap ataupun penyalahgunaan bensin premium yang akan teramat sangat sulit untuk dicegah ataupun diawasi. Ditambah ketidaksiapan infrastruktur yang ada, maka rencana pembatasan bensin premium tak selayaknya dipaksakan.

Pilihan kebijakan yang tersedia dan layak untuk tahun 2011 ini memang tak banyak. Namun, beberapa di antaranya memang harus dilakukan. Pertama adalah mengubah asumsi harga minyak (Indonesian Crude Price/ICP) di APBN. Kisaran ICP 86–90 dollar AS per barrel (berkorelasi dengan harga minyak dunia 90–95 dollar AS per barrel) adalah level yang lebih realistis dan mencerminkan dinamika yang ada.

Tanpa perubahan asumsi, dengan cadangan fiskal yang ada, APBN hanya akan mampu ”bertahan” di kisaran ICP tak lebih dari 82 dollar AS per barrel. Tak perlu berkukuh mempertahankan asumsi ICP 80 dollar AS per barrel karena faktor-faktor yang ada memang tak membentuk keseimbangan harga di level itu.

Kedua, menambah alokasi kuota BBM bersubsidi di APBN sebagai konsekuensi dari dibatalkan atau ditundanya kebijakan pembatasan bensin premium.

Ketiga, menyiapkan program-program jaring pengaman sosial dan langkah-langkah pengendalian inflasi untuk mengantisipasi jika kebijakan kenaikan harga BBM pada akhirnya diambil oleh pemerintah. Dalam hal ini, toleransi rata-rata ICP 10 persen di atas asumsi adalah batas yang rasional bagi pilihan kebijakan disesuaikan tidaknya harga BBM di dalam negeri.

Tak rasional dan tak bijaksana kiranya jika di tengah gejolak harga minyak saat ini tetap saja ”menjanjikan” tak akan ada kenaikan harga BBM. Pendekatan yang mengedepankan rasionalitas ekonomi hendaknya lebih diutamakan daripada pendekatan politis-populis.

PRI AGUNG RAKHMANTO Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute; Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com