Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman Mengungsi dan Harapan Baru

Kompas.com - 04/11/2010, 11:10 WIB

Pascaletusan kedua Gunung Merapi. Sabtu (30/10), Iswanti (28) dan anaknya, Cindy (5), sudah dua malam tidur di teras Balai Desa Nglumut, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, tempat pengungsian sementara. Mereka tidur di teras karena tidak kebagian tempat di dalam balai desa.

Hujan deras yang mengguyur lokasi pengungsian pada Senin (1/11) malam membuat Cindy yang tertidur di tikar berselimut jarit tipis merapat dekat ibunya. Kaki mungilnya sempat terkena percikan air hujan.

”Di dalam sudah penuh. Kami terpaksa tidur di teras,” kata Iswanti sembari menarik dan menyelimuti kaki putri semata wayangnya.

Tinggal di pengungsian memang membuat sejumlah pengungsi tidak tenang. Beberapa pengungsi terpaksa harus bolak- balik lokasi pengungsian-desanya untuk mengurus tanaman.

Suhardi (50), warga Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, misalnya. Setiap hari harus bolak-balik permukimannya ke lokasi pengungsian di Sawangan untuk mengurus tanaman sawi. Dia khawatir kalau ditinggal tanaman itu akan mati.

”Saya sudah mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta. Kalau tanaman mati, anak dan istri akan kehilangan rezeki,” kata Suhardi.

Kondisi yang dihadapi para pengungsi mengundang perhatian dari rohaniwan sekaligus pemerhati sosial, lingkungan, dan budaya Merapi, Romo Vincentius Kirjito Pr.

Ia mengatakan, di tengah bencana Merapi tahun ini memang tidak banyak warga menggelar doa bersama secara ritual. Namun, dia menilai pengungsi justru melakukan doa yang lebih hidup ketimbang laku ritual.

”Ibu-ibu yang mengayomi anaknya, petani yang bersedih karena tanaman rusak, warga yang setia menjaga permukiman dan ternak adalah doa yang paling indah dan nyata. Doa itu mewujud langsung dari tindakan-tindakan konkret mereka,” kata Romo Kirjito.

Letusan Gunung Merapi merupakan pepadhang (pencerahan) karena peristiwa itu membawa makna atau nilai-nilai sosial, hidup, budaya, dan pesan kepedulian terhadap lingkungan hidup.

Dari konteks alam, Merapi sungguh mengagumkan. Di dalam tubuh Merapi tersimpan api, sedangkan kaki-kakinya memberikan air bagi setiap warga yang tinggal di sekitarnya, bahkan hingga hilir.

”Di sisi lain, Merapi bak pabrik pasir. Sayangnya, pasir-pasir itu dimanfaatkan tidak semestinya sehingga merusak lingkungan,” ujarnya.

Dalam konteks kemanusiaan, Romo Kirjito menambahkan, Merapi menghadirkan fenomena kehidupan masyarakat agraris. Pada saat erupsi, para petani banyak yang menghentikan aktivitasnya sehingga bakal terjadi kemacetan penghasilan.

Namun, yang luar biasa, petani tak pernah memberontak dan menyalahkan Merapi.

Simpati yang mendalam terhadap warga sekitar Merapi yang terkena bencana juga datang dari Ismanto, seniman Magelang.

”Saya yakin, warga bakal bangkit kembali membangun alam hidup mereka, sedangkan anak-anak yang baru pertama kali mengalami letusan Merapi akan belajar menjadi manusia yang kuat menjalani tantangan hidup,” kata Ismanto.

(HENDRIYO WIDI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com