Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesaksian Istri Tersangka Teroris

Kompas.com - 27/09/2010, 06:33 WIB

MEDAN, KOMPAS.com — Tindakan polisi dalam menangkap para tersangka teroris sering kali menjadi keluhan keluarganya. Kali ini, giliran istri tersangka Khairul Ghozali yang bersaksi soal kengeriannya ketika aparat menangkap suaminya.

Kesaksian dengan cara bertutur langsung bersumber dari tim kuasa hukum Khairul Ghozali, yakni Adil Akhyar dan Ahmad Sofian SH MA (adik Khairul Ghozali), serta Dr Ikhwan (kakak Khairul Ghozali).

Nama saya Kartini Panggabean, kelahiran 20 Februari 1980. Panggilan saya Cici, anak-anak memanggil saya Umi. Saya adalah istri dari Ustadz Ghozali, anak-anak memanggilnya Buya, saya memanggilnya Bang Jali.

Saya tinggal bersama suami saya di di Jalan Bunga Tanjung, Gang Sehat, dan empat anak kami (Umar Shiddiq, Raudah Atika Husna, Ahmad Yasin, dan Fathurrahman).

Bang Jali lahir tahun 1963, tamat SD 1971. Kemudian Bang Jali masuk SMP Muhammadiyah di Sei Sikambing, Medan. Bang Jali tidak tamat SMP, berhenti karena protes terhadap sekolah SMP di Indonesia yang memakai celana pendek (tidak menutup aurat). Secara otodidak Bang Jali belajar menulis.

Dia menjadi kolumnis tetap di beberapa surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian, Bang Jali ke Malaysia selama 10 tahun. Aktif menjadi wartawan di majalah Islam.

Tahun 1996-2000 Bang Jali pulang ke Indonesia menetap di Medan dan membuka kursus komputer, kemudian ke Malaysia lagi pada tahun 2000-2004 bekerja sebagai penulis buku di beberapa penerbitan.

Sejak tahun 2004-2010 menetap di Tanjung Balai sebagai penulis buku-buku agama yang produktif dan semua diterbitkan di Malaysia, lebih kurang 50 judul buku. Ada satu judul buku yang diterbitkan di Indonesia.

Selain menulis, Bang Jali juga berprofesi sebagai pengobat tradisional (bekam) dan pengisi pengajian.

Sejak satu bulan terakhir (bulan Agustus 2010), Bang Jali tidak pergi ke mana-mana atas permintaan saya selaku Umi anak-anak. Alasan saya karena saya sedang hamil tua, hari-hari menjelang persalinan sudah kian dekat. Saya meminta Bang Jali menemani saya melahirkan.

Begitu pun, seingat saya Bang Jali sekali ada pergi ke Medan awal Agustus. Itu pun karena menjenguk ibunya di salah satu rumah sakit di Medan. Saya melahirkan anak saya yang keempat pada 28 Agustus 2010 (usianya 3 minggu).

Sejak saya melahirkan bayi kami Fathurrrahman Ramadhan itu, Bang Jali juga tidak pergi ke mana-mana karena saya tidak ada teman di rumah.

Saat magrib, hari Minggu sekitar pukul 18.45 WIB menjelang Senin malam tanggal 19 September 2010, saya bersama bayi saya, dua perempuan dewasa (istri Abu dan teman Deni), Buya, Dani, Deni, Alek, Abdullah, dan 2 orang lagi anak tamu (salah satu dari dua perempuan dewasa).

Jadi, orang di dalam rumah ada 10 orang, terdiri dari 5 laki-laki dewasa, 3 perempuan dewasa, 3 anak-anak. Saat azdan magrib terdengar, Bang Jali bersiap-siap melaksanakan salat berjemaah.

Bang Jali, Deni, Deden, Alek, dam Abu mengambil wudhu. Saya bilang kepada Bang Jali, "Buya bajunya diganti saja, basah kena air wudhu." Saya berada di ruang tamu, menyusukan anak saya, Fathur.

Bersama saya dua perempuan dewasa di dekat pintu depan rumah. Pintu rumah kami hanya di depan, rumah kami tidak ada pintu belakang. Saya memanggil ketiga anak untuk pulang ke rumah karena sudah masuk waktu magrib.

Bang Jali dan empat temannya mulai melaksanakan shalat magrib berjemaah dengan Bang Jali sebagai imamnya. Mereka shalat di ruang belakang dekat dapur.

Dani, usianya sekitar 25 tahun, adalah murid mengaji Bang Jali. Kerjanya sehari-hari menjahit gorden, dia tinggal di Tanjung Balai. Dani membawa dua temannya, Alek (30) dan Deni (20) ke rumah. Bang Jali sebelumnya tidak mengenal kedua orang itu.

Sejak saat itu, Deni dan Alek menginap di rumah. Tetapi, Dani tidak menginap di rumah, sedangkan Alek dan Deni saya tidak mengenalnya. Mengenai Abu atau Abdullah (35), saya tidak jelas orang mana asalnya.

Jadi, Deni dan Alek sudah menginap 2 minggu di rumah kami, kedatangan mereka ke Tanjung Balai karena rencana mau cari kerja saat itu mau Hari Raya (Idul Fitri).

Bang Jali bilang, 'Ini sudah dekat Hari Raya, tidak mungkin ada kerjaan. Tunggulah habis Hari Raya'. Jadi mereka di rumah kerjanya hanya makan tidur. Seingat saya selama ini tidak ada kegiatan yang mencurigakan.

Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada orang berteriak, "Keluar!"

Saat itu ketiga anak saya masih bermain di rumah tetangga. Saya mau memanggil anak-anak untuk pulang, saya pun berjalan menuju pintu depan rumah.

Saya menyuruh mereka masuk, tapi mereka tidak mau masuk, saya sempat melihat wajah mereka seperti ketakutan.

Saya terkejut karena pas saya di depan pintu saya lihat sudah turun dari mobil 30 orang bersenjata. Anak-anak saya diam tak bersuara. Densus 88 langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah dengan bersenjata.

Mereka semuanya ada sekitar 30 orang membawa senjata. Mereka dari samping sebagian, masuk ke dalam rumah sebagian, sambil melepaskan tembakan.

Saya masih menggendong bayi saya, sementara dua perempuan dewasa dan anak-anaknya ditodongkan senjata oleh Densus 88. Sepasang daun pintu rumah kami ditunjang (ditendang) sama Densus 88.

Tidak ada baku tembak, tidak ada perlawanan dari dalam rumah, karena Bang Jali sedang shalat, sedang membaca surah Al Quran sehabis membaca surah Al-Fatihah.

Tiba-tiba tiga makmum (Alek, Deni, dan Dani) keluar dari shaff (membatalkan shalat mereka) karena mendengar suara ribut, tembakan, dan segera mengetahui datangnya orang-orang bersenjata. Alek, Dani, dan Deni lari menuju kamar mandi.

Alek keluar dengan membobol seng (atap) kamar mandi. Orang-orang yang sudah masuk rumah menembaki mereka. Deni dan Dani ditembaki secara membabi buta sewaktu mereka di depan kamar mandi.

Saya, dua perempuan dewasa yang bersama saya, bayi saya yang berumur 20 hari, dan anak tetangga yang masih balita itu menyaksikan kejadian tersebut. Jadi, dua orang ditembak di kamar mandi, satu orang lari.

Bang Jali dan seorang makmumnya, Abu, masih tetap melanjutkan shalat walaupun orang-orang bersenjata itu sudah masuk ke dalam rumah, di ruang belakang dekat dapur.

Bang Jali tetap melanjutkan membaca surah Al Quran. Tetapi, orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa Bang Jali, shalat Bang Jali dihentikan secara paksa. Buya ditunjangi (ditendang), kemudian dipijak-pijak (diinjak-injak) hingga babak belur.

Saya kasihan melihat Bang Jali karena saat itu dia sedang sakit batuk. Bang Jali diseret sama Densus, Bang Jali tak henti-hentinya meneriakkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Saya masih dalam todongan senjata bersama dua perempuan dan tiga anak-anak. Kami langsung disuruh ke rumah tetangga sambil ditodong. Anak-anak saya yang lain dari tadi memang berada di situ.

Saya dan anak-anak saya bisa mengintip (melihat dari sela-sela atau lubang rumah) kejadian yang terjadi di rumah kami. Anak-anak saya berteriak-teriak tidak henti-hentinya. "Umi, Umi, itu Buya, itu Buya." Anak-anak memberi tahu saya mereka melihat Buya mereka dipijak-pijak (diinjak-injak). (Rahmad Nur Lubis)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com