Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelangkaan Paus dan Pertikaian Lamalera

Kompas.com - 29/05/2010, 03:21 WIB

Sabtu pagi, pada awal bulan Mei. Dari sebuah pantai mungil Dusun Lefo Bela. Perahu praso sapang melesat ke Laut Sawu. Berjuta harapan sekembalinya ke darat, perahu akan membawa berita baik. Namun, kegetiran batin justru mengguncang.

Para awak di perahu itu tidak menemukan tanda-tanda adanya paus, bahkan ikan besar lain, seperti hiu atau pari. Paus yang biasa diburu adalah paus sperma (Physeter macrocephalus). Masyarakat setempat menyebutnya koteklema.

Ini berbeda dengan pengalaman tahun 2007. Masyarakat nelayan tradisional di Desa Lamalera A maupun Lamalera B, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu amat bergembira. Seusai diadakan pemberkatan laut dengan misa Lefa dan praso sapang diluncurkan sebagai tanda awal perburuan paus, empat paus langsung berhasil ditangkap.

Masyarakat Lamalera akhir- akhir ini memang mengeluhkan tangkapan paus yang cenderung menurun. Tahun 1930-1960-an, mereka dapat menangkap 30-40 ekor per tahun. Tahun 1969 bahkan ditangkap 56 ekor. Namun, seiring perjalanan waktu, paus yang ditangkap terus menurun menjadi 10-20 ekor per tahun. Tahun 2008 hanya ditangkap enam ekor, tahun 2009 dua ekor. Tahun 2010 ini mereka pun cemas.

Hipotesis Ketua Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Nusa Cendana Kupang Franchy Christian Liufeto, penurunan hasil tangkapan paus disebabkan oleh dua hal. Pertama, pengaruh pemanasan global yang mengakibatkan suhu permukaan air laut meningkat dan mengganggu rantai ekologi. Migrasi paus pun menurun karena keterbatasan ketersediaan makanan di kawasan perairan Lamalera.

Kedua, populasi paus menurun oleh perburuan yang terus meningkat seiring makin tingginya kebutuhan nelayan yang didorong aktivitas pariwisata.

Menurut keterangan Kepala Subdinas Produksi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata Agustinus D Kedang, jumlah paus yang berhasil diburu tidaklah sedikit. Selama 22 tahun sekitar 475 paus yang ditangkap. Padahal, kemampuan mamah biak paus sperma tergolong lambat. Paus ini baru bisa berkembang biak setelah usia 20 tahun dan usia hidupnya sekitar 77 tahun.

Kondisi ini juga yang mendorong adanya konservasi guna melindungi mamalia laut itu dari kepunahan. Mulai tahun 2008, wacana konservasi Laut Sawu sudah gencar disosialisasikan di Lembata, salah satunya oleh World Wide Fund for Nature (WWF).

Namun, program konservasi ini mendapat tentangan sebagian masyarakat. Program konservasi ini bahkan dianggap telah memicu konflik komunitas nelayan, antara yang pro dan kontra. ”Apa pun namanya, kami tetap menolak konservasi. Kalau menerima program itu, kami akan tersingkirkan. Lamalera akan mirip dengan Selandia Baru. Di sana paus tidak diburu, tetapi hanya menjadi atraksi wisata,” kata Kepala Suku Bediona Abel Onekala Beding.

Abel menegaskan, perburuan paus yang dilakukan masyarakat nelayan Lamalera tidak membabi buta karena menggunakan perahu tradisional. ”Untuk berburu paus pun di waktu tertentu saja, yaitu dari pagi sampai pukul 14.00. Selebihnya, meski paus muncul, nelayan tidak akan mengejar,” kata Abel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com