Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Betapa Penting Peran Perempuan di Minangkabau

Kompas.com - 14/03/2013, 08:57 WIB

KOMPAS.com — Sejumlah bencana alam yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan bangunan kerap terjadi di Sumatera Barat. Sebutlah, misalnya, tanah longsor dan banjir bandang atau galodo pada tahun 2012.

Rangkaian peristiwa tersebut terjadi di Kampung Manggis, Jorong Sapan Salak, Nagari Pakan Rabaa Timur, Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, dan Jorong Sei (Sungai) Pangkua, Jorong Sei (Sungai) Binuang, Nagari Pakan Rabaa, pertengahan Desember lalu.

Segera setelah bencana itu, kaum kerabat korban sigap membantu. Sebagian di antara korban juga langsung ditampung di rumah kerabat setelah bencana itu datang. Hal yang serupa terjadi ketika tanah longsor melanda Kampung Ubi, Batu Busuk, Kelurahan Lambung Bukik, Kecamatan Pauh, Kota Padang, tiga bulan sebelumnya.

Kentalnya relasi antarkeluarga dalam masyarakat Minangkabau disebabkan sistem kekerabatan matrilineal. Pola kekerabatan ini menciptakan perasaan kesukuan yang kuat. ”Strukturnya sangat kuat dalam sebuah kaum,” kata Puti Reno Raudhatuljannah Thaib (65), ahli waris Istana Pagaruyung, Sumatera Barat.

Sistem matrilineal itu mengatur empat hal. Peran perempuan, peran laki-laki, harta pusaka, dan perkauman. Hal utama yang menyatukan adalah hak milik komunal atau bersama. Tanah ulayat, rumah gadang, dan pekuburan adalah beberapa hal yang dianggap menjadi milik bersama. Harta pusaka, seperti tanah ulayat, tidak boleh dijual. Kepemilikannya dikuasakan untuk perempuan.

Rumah gadang yang memiliki rangkiang (lumbung) juga mengajarkan persiapan saat menghadapi masa sulit. Rangkiang terpisah menjadi lumbung sehari-hari, bagi tamu, dan pada masa paceklik atau krisis, termasuk bencana. ”Sekalipun sekarang sudah makin jarang didapati, konsep rangkiang tetap dijalankan. Saat ini berbentuk seperti tabungan,” kata Puti.

Selain dengan keluarga inti, setiap orang Minang terikat dengan keluarga kaum. ”Karena itulah, ada istilah pernikahan antara si A dan si B, dan perkawinan terjadi antara kaum A dan kaum B,” ujar Puti.

Ini melahirkan kewajiban bahwa seorang anak bukan saja sebagai tanggung jawab keluarga ibu, melainkan juga tanggung jawab keluarga bako’ (keluarga ayah). Peran keluarga bako’ sangat dominan dalam kehidupan anak, mulai dari peringatan tujuh bulan dalam kandungan, lahir, cukur rambut, akikah, sunatan, menikah, hingga meninggal.

Ikatan kekerabatan ini semakin kuat jika seseorang dalam kaum tertimpa bencana ataupun musibah. Ada ungkapan dalam masyarakat Minang yang berbunyi Kaba’ baiak baimbauan, kaba’ buruak bahamabauan. Tafsir ungkapan tersebut ialah untuk datang ke acara-acara yang "berbau kesenangan", seperti pesta pernikahan, seseorang mesti menunggu diundang terlebih dahulu. Namun, untuk hal-hal yang sifatnya kesedihan, seperti kematian, seseorang akan langsung bereaksi tanpa diperintah.

Puti menjelaskan, kuatnya ikatan keluarga dalam masyarakat Minang membuat ada semacam rasa malu apabila orang lain datang terlebih dahulu untuk membantu korban bencana keluarga atau kaum mereka. ”Ada ungkapan, rumput sehelai sudah ada yang punya, tanah sebingka’ sudah diuntukkan, tapi malu yang tidak akan dibagi,” kata Puti yang juga Guru Besar Universitas Andalas Padang itu.

Bantuan dari ”pihak luar” garis keluarga yang tiba terlebih dahulu untuk anggota keluarga mereka saat ditimpa kemalangan, selain menimbulkan perasan malu pada konteks tertentu, juga bisa dianggap sebagai aib. Ini berlaku untuk dua kelarasan dalam masyarakat Minang, yakni Koto Piliang dan Bodi Chaniago.

Subyek dari seluruh konsep dan kemandirian masyarakat Minang itu adalah perempuan. Perempuan merupakan limpapeh (tiang utama) rumah gadang dan juga kunci harta pusaka keluarga. Perempuan Minang dididik mandiri dan keras. Laki-laki merantau, menurut Puti, lebih untuk pencitraan kaum.

”Laki-laki selalu diberikan sesuatu yang utama. Seperti, misalnya, saat makan selalu yang pertama diberikan nasi dengan piring yang paling bagus,” ujar Puti.

Perempuan Minang, kata Puti, idealnya seperti terwujud di masa lalu ketika tidak diperkenankan tampil dalam pertunjukan.

Seperti pementasan randai dan silek galombang yang, menurut Puti, sekalipun ada pemeran perempuan, biasanya tetap dimainkan oleh laki-laki. Bahkan, pada masa lalu, laki-laki diberi sangu oleh istrinya apabila mereka mau ke lapau atau kedai. Kantong pakaian mereka diisi dengan uang.

”Laki-laki dijaga citranya,” kata Puti. Karena itulah, perempuan Minang juga cenderung bertindak sebagai distributor informasi dan bantuan jika ada anggota keluarga atau kaum yang tertimpa kemalangan. Kadang kala, hal itu dilakukan secara rahasia untuk tetap menjaga kehormatan pihak-pihak tertentu. (INGKI RINALDI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com