Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menumpang Pesawat Pembuat Hujan

Kompas.com - 16/10/2011, 19:45 WIB
Dwi Bayu Radius

Penulis

PALANGKARAYA, KOMPAS.com — Menumpang pesawat pembuat hujan yang digunakan selama 30 hari di Kalimantan Tengah, Minggu (16/10/2011), jauh dari kenyamanan layaknya pesawat komersial jarak jauh. Tak ada pula pelayananan prima dan makanan lezat dari pramugari.

Duduk di kabin pesawat itu membuat gerah. Mesin baling-baling pesawat amat bising hingga untuk sekadar mengobrol pun tak nyaman.

Pesawat tipe Casa 212-200 yang selama 30 hari digunakan untuk membuat hujan itu lepas landas dan mendarat di Bandar Udara (Bandara) Tjilik Riwut, Palangkaraya.   

"Tentu saja kurang nyaman karena itu tipe unpressurized," ujar Koordinator Lapangan Hujan Buatan Kalteng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Rino Yahya, sambil tersenyum.

Kapasitas pesawat yang biasanya ditumpangi 20 penumpang diciutkan menjadi hanya tujuh orang. Sebagian besar kabin penumpang digunakan untuk tempat memasang alat penabur garam. Namun, peralatan pengaman tetap terpasang.

Di setiap tempat duduk, sabuk pengaman masih berfungsi baik. Menjelang lepas landas, baling-baling berputar kencang selama lebih kurang 10 menit. Akan tetapi, posisi pesawat belum bergerak. Selama menunggu sebelum mengudara itu, hawa dalam pesawat terasa panas karena tidak ada pendingin udara.

Apalagi, dinding pesawat dilapisi plastik tebal. Plastik itu berfungsi untuk mencegah garam berterbangan dan menyusup ke sela-sela dinding. Meski sudah dipasang plastik, pesawat tetap harus dicuci setelah digunakan membuat hujan buatan, untuk memastikan kabin sudah bersih dari butiran garam.

Lantaran masih menggunakan baling-baling , getaran pesawat pun sangat terasa. Setelah pesawat mengangkasa dan terbang selama 15 menit, udara baru terasa sejuk bahkan dingin. Namun udara itu bukan berasal dari mesin pendingin, tetapi kondisi pada ketinggian 3.000-4.000 meter.

Suhu pada ketinggian itu sekitar 18 derajat Celcius, sementara di darat bisa mencapai 32 derajat Celcius. Sementara di ruang peralatan mesin penabur, beberapa pekerja terlihat sibuk menumpahkan garam. Mereka menaburkan garam ke dalam wadah dengan kisi-kisi di dalamnya.

Wadah itu terhubung dengan saluran pembuangan menuju keluar pesawat. Di antara kabin pesawat dan kokpit, tidak terlihat pintu yang tertutup. Hanya tampak tirai tersibak karena para petugas dan pilot membahas kemungkinan awan yang terlihat dari balik kaca kokpit untuk bisa dijadikan hujan.

Sekali-sekali, pesawat bergetar karena sedikit turbulensi udara. Jika tak kuat, perut terasa sangat mual. Bahkan, seorang staf perempuan yang ikut tak kuasa menahan muntah. Ia terlihat lemas setelah mengeluarkan isi perutnya, kira-kira tiga menit sebelum pesawat mendarat.

Sekali terbang, pesawat biasanya membawa lebih kurang satu ton garam. Setelah terbang sekitar 1,5 jam, penaburan garam selesai dan pesawat bersiap kembali. Seperti pada saat lepas landas, demikian pula ketika mendarat. Hawa panas pun kembali mendera.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com