SEMARANG, KOMPAS.com - Nomor orangtua taruna yang diduga menjadi korban penganiayaan di kampus pelayaran milik pemerintah di Kota Semarang, Jawa Tengah diteror nomor misterius setelah buka suara ke media.
Nomor misterius tersebut mengirimkan pesan WhatsApp yang meminta agar korban dugaan penganiayaan berinisial MG (19) agar dimasukkan ke sekolah perawat.
"Bu, anaknya dimasukkan ke sekolah perawat aja, biar nggak ada tekanan, sekolah pelayaran itu berbasis semi militer, mental harus kuat, fisik harus kuat, kalau anak ibu masih manja, belum bisa mandiri di belum bisa menyelesaikan masalah sendiri, mending ibu bikin di sekolah perawat aja," tulis nomor misterius itu.
Baca juga: Taruna Pelayaran di Semarang Mengaku Ditendang dan Dipukul Puluhan Kali Oleh Seniornya
Pendamping korban dari LBH Semarang, Iqnatius Radit menjelaskan, sampai saat ini dia belum mengetahui siapa yang mengirim chat ke ibu korban dugaan penganiayaan tersebut.
"Kita cari belum tahu siapa yang ngirim," kata Radit saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Kamis (15/6/2023).
Radit menambahkan, korban saat ini sedang trauma karena belum genap satu tahun mengikuti pendidikan sudah menjadi korban kekerasan fisik sebanyak tiga kali.
"Pada 9 Oktober 2022 korban mengalami pemukulan di kepala dan tendangan di tulang kering oleh pembina dan pengasuh," jelasnya Radit.
Setelah itu, pada 23 Oktober 2022 korban kembali menjadi korban kekerasan berupa pemukulan kepala bagian belakang sebanyak 10 kali yang dilakukan oleh asisten aktivitas.
"Pada Rabu 21 November 2022 korban kembali mendapatkan penganiyaan fisik. Dipukul 40 kali bagian perut, termasuk ulu hati," ujar dia.
Radit telah melaporkan kejadian tersebut ke beberapa lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Kita juga sudah lapor ke Polda Jawa Tengah," ujar dia.
Informasi yang dia dapatkan, di kampus pelat merah tersebut ada doktrin dimana taruna yang mendapatkan kekerasan fisik tidak boleh lapor dan dianggap banci jika hal itu terjadi.
"Ada doktrin bahwa kekerasan di sana untuk memupuk mental. Tidak boleh lapor-lapor. Kalau ada yang lapor, ada yang kena sanksi fisik, lalu dihujat dengan sebutan banci," ungkap Radit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.