BIMA, KOMPAS.com - Pemerintah Kota Bima melakukan uji sampel limbah misterius yang muncul di perairan Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kepala Dinas Lingkuhan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bima Syarif Bustaman mengatakan, sampel baru dari limbah itu sudah diambil untuk pengujian di Labkesda dan laboratorium internal DLHK.
"Teman-teman dari pengendalian sudah kita arahkan untuk mengambil sampel. Pengujiannya sementara yang segera di Labkesda sama laboraturium internal kita di DLHK," ujar Syarif dikonfirmasi, Kamis (19/5/2022).
Baca juga: Limbah Misterius Muncul Lagi di Teluk Bima NTB
Syarif menuturkan, pengujian sampel itu dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan dalam limbah tersebut.
Dari hasil pengujian sampel itu, pihaknnya memastikan apakah limbah misterius yang muncul sama dengan fenomena kemunculan limbah yang sempat menuai polemik pada 27 April lalu.
"Paling tidak kita identifikasi dulu jenis kandungannya di Labkesda. Kalau yang sekarang ini dia sporadis, tidak semasif seperti (limbah) tanggal 27 April 2022," imbuh Syarif.
Syarif mengungkapkan, petugas menemukan limbah misterius itu mengapung secara sporadis di permukaan air Teluk Bima, mulai dari Lingkungan Niu, Wadu Mbolo dan pesisir pantai lawata Kelurahan Dara Kota Bima.
Meski demikian, Syarif mengatakan, belum bisa memastikan penyebab kemunculan limbah misterius itu sehingga harus diuji terlebih dahulu.
"Belum bisa kita prediksi nanti kita cek dulu dia," ujarnya.
Baca juga: Teluk Bima Diduga Tercemar Limbah, Ada Gumpalan Jeli yang Sebabkan Ikan Kecil Mati
Menurut Syarif, karena sebaran limbah ini tidak merata seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, nelayan yang sudah mulai melaut tidak terganggu aktivitasnya.
"Kemarin juga sudah ada beberapa nelayan yang mulai melaut seperti kondisi normal," ungkap Syarif.
Sementara itu, Dahlan, Ketua kelompok nelayan di Lingkungan Niu mengatakan, beberapa anggotanya sudah mulai aktif melaut meski ada kemunculan limbah misterius ini.
Meski begitu, diakui hasil tangkapan ikan saat ini tidak seperti biasanya.
"Akibat fenomena ini memang penghasilan kita kurang. Biasanya dapat Rp 100.000, sekarang sedikit kurang," tandas Dahlan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.