KOTA BIMA, KOMPAS.com - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) RI menggelar Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) secara online melalui zoom meeting bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Nusa Tenggara Barat (NTB) terkait dugaan pencemaran lingkungan di laut Teluk Kota Bima, Kamis (28/4/2022).
Adapun hasil dari rakornis tersebut membenarkan adanya gumpalan warna coklat seperti jeli yang menyebabkan ikan-ikan di perairan tersebut mati.
"Bahwa benar terdapat semacam gumpalan jeli di perairan Teluk Bima yang mengakibatkan beberapa fauna seperti ikan-ikan kecil perairan mati," ungkap Kadis LHK Madani Mukarom dalam keterangan pers, Jumat (29/4/2022).
Baca juga: Pantai di Bima Berwarna Cokelat Diduga Tercemar Limbah, DLHK NTB Uji Sampel Air
Disampaikan Madani, secara kasat mata, gumpalan dimaksud memiliki bau seperti lumut dan tidak berbau seperti minyak, namun tetap mengimbau kepada masyarakat agar tidak memakan ikan yang mati tersebut.
"Telah dilakukan imbauan kepada masyarakat oleh dinas setempat agar tidak mengonsumsi ikan-ikan yang mati," kata Madani.
Madani menjelaskan, fenomena air laut yang berbusa tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengayaan hara yang dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik.
Madani menyampaikan bahwa dari PT Pertamina Parta Niaga-Regional Jatim Balinus Integrated Terminal Bima menegaskan, tidak ada kebocoran atau tumpahan minyak dari aktivitas usaha yang dilakukan di sekitar lokasi kejadian.
Baca juga: Polisi Olah TKP Dugaan Pencemaran Limbah Berwarna Coklat di Teluk Bima
Adapun tindak lanjut dari hasil rakornis untuk mengetahui komposisi dari gumpalan yang telah dilakukan pengambilan sampel dan akan diuji di laboratorium.
Selanjutnya akan dilakukan penelitian lebih lanjut bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) RI dan digelar rakornis lanjutan yang akan membahas penyebab dari fenomena tersebut.
Untuk mencegah isu-isu yang beredar di media sosial, maka diimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi sembari menunggu hasil penelitian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.