Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penggalan Nilai-nilai Kebersamaan di Kelenteng Banda

Kompas.com - 02/07/2012, 03:47 WIB

Oleh Iwan Santosa

Bangunan kelenteng di Nusantara selama ini identik dengan budaya dan masyarakat Tionghoa. Di Pulau Neira, Kepulauan Banda, Maluku, kelenteng setempat menjadi bagian dari peleburan budaya dan dipelihara oleh seorang perempuan Muslim suku Buton, Nyonya Saribanun (60).

Kelenteng Sun Tian Kong tersebut adalah satu-satunya kelenteng di Kepulauan Banda yang dalam catatan tokoh Banda Neira, Des Alwi, di masa silam menjadi pusat kehidupan masyarakat Tionghoa di Banda. Masyarakat Tionghoa termasuk komunitas pedagang pertama yang berniaga dengan orang Banda asli bersama orang Arab, India, Makassar, Melayu, dan Jawa di masa sebelum kedatangan orang Eropa.

Di rumah sekaligus kedai yang menjajakan pala, kenari, pernak-pernik, hingga abon ikan khas Banda milik Saribanun alias Bu Nunu yang terletak di seberang kelenteng Sun Tian Kong, setiap hari, dia atau keluarganya membukakan pintu kelenteng bagi mereka yang mau bersembahyang ataupun sekadar berkunjung melihat-lihat bangunan bersejarah itu. Bangunan tua kelenteng tersebut diyakini masyarakat Banda berumur lebih tua dari kedatangan Belanda di pengujung tahun 1500-an.

”Saya sudah puluhan tahun dipercaya memegang kunci Kelenteng Sun Tian Kong. Masyarakat Tionghoa di Banda memercayakan semuanya kepada saya. Mereka datang sembahyang setiap tanggal 15 dan tanggal 1 penanggalan Tionghoa tiap bulan,” kata Saribanun yang berdarah Buton dan Jawa itu. Sembahyang yang dimaksud adalah upacara yang diadakan setiap purnama.

Asal-usul Saribanun menjadi kuncen kelenteng berawal dari perkawinannya dengan Tan Cia Bo (almarhum), suaminya yang seorang Tionghoa Hokkian asal Fujian. Suaminya yang kemudian memeluk Islam, demikian pula anak-anak mereka, dipercaya menjaga kelenteng yang menjadi pusat kehidupan warga Tionghoa Banda.

Perkawinan Tan Cia Bo dan Saribanun dikaruniai tiga anak. Cia Bo memiliki beberapa kerabat di Makassar dan Banda. Keponakan Cia Bo yang tinggal beberapa rumah dari kelenteng memanggil Saribanun dengan sebutan encim (sebutan bibi dari pihak ayah dalam dialek Hokkian). Saribanun juga hafal sebutan kekerabatan keluarga dari pihak suaminya.

Dia juga mengingat filosofi Tionghoa yang diajarkan suaminya, terutama tentang bagaimana mengelola keuangan dan membangun kepercayaan orang lain termasuk dalam berbisnis.

Karena toleransi yang tinggi dan hubungan antarkaum yang akrab di Kepulauan Banda, Saribanun bersama almarhum suami dan ketiga anaknya pernah tinggal 12 tahun di dalam kompleks kelenteng tersebut.

Salah seorang warga Banda (Tionghoa), Ho To Sheng alias Holsen, mengaku, sekitar 10 keluarga Tionghoa yang tersisa memang memercayakan Saribanun dan suaminya sekarang, yaitu Musli yang asli Jawa, untuk memegang kunci kelenteng dan merawat kompleks bangunan bersejarah tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com