”Di dalam kelenteng itu ada Dewi Kuan Im sebagai tuan rumah. Selain itu ada Dewa Kwan Kong dan Dewa Rezeki alias Hok Shen,” kata Holsen yang memiliki toko kelontong di dekat rumah bersejarah Kapten Tan Ka Koa.
Musli, suami Saribanun, tidak keberatan istrinya dipercaya memegang kunci kelenteng sebagai amanah dari keluarga besar suami dan komunitas Tionghoa Banda. Bahkan, Musli
Tingkat toleransi warga asli Kepulauan Banda memang sangat tinggi. Saat kerusuhan menyulut Banda yang dipicu oleh pengungsi yang masuk ke Banda, warga Muslim Banda ”memasang badan” menjaga kelenteng dan gereja tua di Pulau Neira.
”Saat orang mau membakar kelenteng dan gereja, kami yang menjaga. Kami semua orang Banda tidak ada membeda-bedakan,” kata Saribanun.
Ucapan itu dibenarkan Iqbal Baadila, kerabat Des Alwi. Para pemuda Muslim menjaga gereja yang terletak tidak jauh dari rumah pembuangan Sutan Syahrir. Demikian pula Kelenteng Sun Tian Kong turut dijaga warga.
Warga Kristiani, atas perintah Des Alwi, diungsikan sementara ke Hotel Maulana milik keluarganya. Kerusuhan sempat pecah karena bentrokan fisik antara warga asli Banda yang beragama Kristen di luar Pulau Neira dan pengungsi dari luar Banda yang akhirnya menjalar. Kejadian tersebut sangat disesalkan semua pihak di Banda sampai hari ini.
Usman Thalib, sejarawan Universitas Pattimura yang asli Neira, juga mengakui adanya keberagaman, kesetaraan, dan persaudaraan semua orang kelahiran Kepulauan Banda Neira. ”Kami menyebut diri orang Banda lalu asal suku dan kelompok. Identitas Banda selalu di depan. Kawin campur dan asal-usul darah yang sudah sedemikian beragam telah menyatukan orang Banda,” kata Thalib yang bermukim di Kebon Cengkeh, Kota Ambon.
Seingat Thalib, saat ini tersisa keluarga Ho, Lauw, Tan, Ang, dan Tjiang di Banda. Ada yang mengubah marga menjadi Rambitan, Handoko, dan sebagainya, ataupun seperti lazimnya di
Namun, Iqbal Baadila menyayangkan semakin banyaknya anak muda yang keluar meninggalkan Banda Neira, termasuk warga Tionghoa Banda. ”Lama-lama kami kehilangan warga Tionghoa di sini. Hanya orang tua yang tersisa,” ujar Baadila yang tumbuh di dalam lingkungan yang beragam itu.
Banda Neira yang menjadi tempat perenungan Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta saat diasingkan di masa lalu sungguh merupakan laboratorium kebangsaan Indonesia. Penulis Julius Pour saat mengulas buku Des Alwi tentang pertempuran 10 November 1945 mengingatkan, dari Banda-lah ”keindonesiaan” tercipta.
Nilai-nilai itu hidup di semua lapisan kehidupan masyarakat Banda. Nilai-nilai kebersamaan dan penghormatan terhadap keberagaman serta toleransi cukup tinggi. Salah satunya tecermin dari keberadaan seorang perempuan Buton yang menjadi juru kunci sebuah kelenteng.