Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sosialisme Soekarno Bagaimana Dihayati Kini?

Kompas.com - 30/06/2012, 02:08 WIB

Di tengah serangan neoliberalisme dan ekstremisme agama secara global, ideologi sosialisme Bung Karno yang merumuskan Pancasila mampu menangkal pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan. Sosiodemokrasi yang digagas Bung Karno sebetulnya sangat strategis. Namun, menurut ekonom Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Poppy Ismalina, tidak banyak dikenal rakyat Indonesia dewasa ini.

”Sejarah secara umum mencatat Orde Lama mengedepankan nation building. Padahal, Bung Karno juga menjadi peletak dasar ekonomi sosialis yang berdasar Pancasila,” kata Poppy dalam diskusi ”Bung Karno di Mata Dunia: Gagasan dan Tindakan tentang Kepemimpinan dan Sosiodemokrasi” yang diselenggarakan Megawati Institute, di Jakarta, Rabu (27/6).

Agenda nation building sangat penting sebagai langkah awal bernegara. Eropa Barat membutuhkan ratusan tahun untuk agenda ini. Bahkan, Jerman, lanjut Poppy, melalui proses ini sangat berdarah.

Bung Karno mampu menyatukan kesadaran bernegara, ideologi, menjaga keberagaman untuk mencapai tujuan bersama, yakni kedaulatan negara.

Poppy menerangkan, sejak 1932, Bung Karno sudah merumuskan sosiodemokrasi. Sistem ekonomi Pancasila yang dirumuskan Bung Karno mengakui hak individu sebagai penggerak ekonomi. Bung Karno juga menegaskan adanya toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan, penguasaan sumber daya strategis oleh negara, dan demokrasi ekonomi yang mengakui kekuatan serta potensi lokal. Bung Karno juga menggarisbawahi peran aktif negara dalam pembangunan dalam strategi dan kebijakan.

”Pancasila adalah solusi melawan globalisasi. Tidak anti pasar tetapi ada prinsip bangsa dalam berekonomi. Namun, Indonesia saat ini praktis berjalan tanpa ideologi,” ujar Poppy.

Terjebak formalisme

Menurut dia, Pancasila semasa Orde Baru dirusak karena terjebak pada formalisme peperti penataran, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kebijakan pertama Orde Baru lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang menggadaikan Indonesia kepada pemodal dan negara asing.

Semasa reformasi, Poppy mengingatkan, tidak ada yang mampu mendefinisikan ideologi ekonomi Indonesia. Secara nasionalisme ekonomi, lebih dari 90 persen dari 120 kontrak pertambangan strategis dikuasai asing dengan konsesi 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Dunia perbankan mencatat 6 dari 10 bank terbesar adalah bank asing.

Yang paling memprihatinkan, ujar Poppy, adalah daya beli rakyat kecil Indonesia dari tahun 1996 sebesar Rp 587.400 naik menjadi Rp 628.300. ”Kenaikan daya beli hanya sebesar Rp 40.000 dalam kurun 12 tahun. Sungguh tragis,” kata Poppy.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com