Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelirumologi BBM

Kompas.com - 21/03/2012, 03:12 WIB

Oleh Jaya Suprana

Akibat keyakinan bahwa Indonesia adalah negara kaya raya, sekaligus produsen minyak bumi, sulit bagi saya untuk mengerti mengapa Pemerintah Indonesia harus gelisah akibat kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia.

Bukankah seharusnya apabila harga minyak bumi meningkat, pemerintah kita riang gembira bahkan berbahagia sebab bisa panen profit? Kalau ternyata malah gelisah, pasti ada udang di balik batu alias ada yang keliru di perminyakbumian Indonesia.

Saya pun mencoba menerawang kekeliruan itu dengan lensa kelirumologi berbekal bahan data dan informasi dari teman-teman yang lebih menguasai seluk-beluk perminyakbumian nasional maupun internasional.

Ternyata dugaan saya tidak keliru. Banyak kekeliruan anggapan tentang perminyakbumian yang telanjur mengendap di benak saya. Misalnya, anggapan bahwa Indonesia kaya raya minyak bumi ternyata keliru. Dibandingkan dengan kekayarayaan negara-negara produsen minyak bumi lain, sebenarnya Indonesia miskin. Juga keliru, anggapan bahwa Indonesia adalah produsen minyak bumi sebab Indonesia sudah bukan anggota perhimpunan negara-negara produsen minyak bumi, OPEC, akibat kini memang sudah tidak layak lagi disebut sebagai negara produsen. Impor yang lebih besar dari ekspor membuat Indonesia lebih layak disebut importir.

Meski bumi Indonesia mengandung minyak bumi, dengan alasan mutu terlalu tinggi untuk konsumsi dalam negeri, kita malah mengekspor minyak bumi. Dana hasil ekspor digunakan untuk mengimpor minyak bumi dengan mutu lebih rendah untuk konsumsi dalam negeri.

Dana hasil ekspor lebih besar ketimbang dana untuk impor sehingga kondisi yang terkesan rumit berbelit-belit itu tetap dilaksanakan, bahkan sudah menjadi semacam kelaziman yang tidak boleh diubah! Sayang, kini kondisi surplus itu berubah akibat volume konsumsi dalam negeri membengkak. Ini masih ditambah beban subsidi sehingga surplus berubah menjadi defisit pada ekspor-impor minyak bumi Indonesia.

Saran saya untuk menghentikan ekspor minyak mutu tinggi demi dialihkan ke pemenuhan kebutuhan dalam negeri dianggap tidak relevan oleh para ahli. Soalnya, kapasitas produksi sudah jauh ketinggalan ketimbang volume konsumsi dalam negeri yang telanjur membengkak!

Defisit itulah sumber kegelisahan Pemerintah RI menghadapi kenaikan harga minyak bumi di pasar dunia dan kembali terjebak dilema klasik antara menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM. Padahal, keputusan apa pun ujung-ujungnya pasti menyengsarakan rakyat. Ibarat Hamlet tidak perlu bingung menghadapi dilema to be or not to be sebab sudah jelas siapa yang akan menjadi korban.

Solusi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com